dari mata seorang sasha ; tentang pendidikan


.

Halo. Lama tak menulis, nih. Baru UTS. Haha. /gelundung

Ya jadi... well, tulisan di sini hanya sekadar untuk menumpahkan unek-unek saja, selagi belom ada undang-undang yang melarang pelajar SMA galau untuk ngeblog dan curcol di blognya /dfq Lagian udah lama juga saya nggak nulis entri yang rada guna /kapankamunulisentribergunasha

Seminggu yang lalu, ada seorang guru di bimbel yang nyampein sesuatu tentang OIS atau Overload Information Syndrome, keadaan dimana sudah terlalu banyak informasi yang diterima oleh otak dalam satu periode waktu tertentu dan biasanya kalau sudah mencapai fase macam gini, otak sulit mencerna mana informasi yang harus disimpan dan mana informasi yang harus dilupakan. Istilahnya sih otak jadi ngebul. Keadaan kayak gini itu rentan dialami sama anak sekolahan.

Di sekolah itu, kebanyakan informasi yang sudah diterima akan dilupakan, dan yang ingat itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan informasi yang ditangkap. Kebayang dong, guru udah susah-susah menyampaikan ilmu, tapi ilmu yang terserap hanya sebagian kecil banget. Tapi itu bukan salah murid kok. Daya tangkap orang kan berbeda-beda, karena dipengaruhi dari cara belajar dan jenis kecerdasan yang dimiliki orang itu juga. Kalau seseorang punya kecenderungan terhadap sesuatu hal, misalnya seseorang yang punya kecerdasan di bidang logika matematika dan memang suka sama hal tersebut, pasti informasi yang berkaitan dengan matematika yang paling nempel. Beda kalo memang ga suka dan cenderung "lemot" di linguistik, pasti informasi tentang bahasa-lah yang paling gampang dilupakan.

Kurikulum pendidikan di Indonesia itu berat. Kenapa? Karena semua murid disamaratakan. Mereka harus siap menerima set informasi dari kurikulum yang sudah disiapkan oleh pemerintah, dan itu mencakup segala jenis bidang--macam Matematika, Bahasa, Olahraga, dan lain-lain. Nggak peduli mau lemah di matematika mau lemah di olahraga ga mau tau pokoknya harus belajar dan harus "bisa". Bisa pake tanda kutip, soalnya patokan bisa atau tidaknya cuma deretan angka yang berlabel "Kriteria Ketuntasan Minimal."

Bingungnya saya, kenapa orang harus belajar hal lain yang nggak bakalan dia suka, nggak bakal ia bisa, dan BAKAL DIA TINGGALIN nantinya ketika beranjak dewasa? Bukankah akan lebih efektif kalau sejak awal sudah difokuskan kepada apa yang ingin dia lakukan? Jadi things to achieve in the future-nya udah jelas. Kalau dari kecil misalnya belajar bahasa teruuuuus, nanti jadi sastrawan yang jago. Kalo dari kecil belajar musik terus misalnya, bisa jadi musikus yang andal. Nggak perlu menyisakan space memori otak untuk hal-hal ga berguna yang nantinya juga bakal dibuang lagi. Kalau begitu caranya kan, jadi nggak terlalu berat dalam belajar, dan kitanya juga bisa jadi maksimal, karena tekanannya berkurang.

Satu hal lagi yang menjadi tekanan buat para pelajar adalah--nilai! Nilai untuk aspek-aspek kognitif yang seolah ditaruh di atas segalanya, penentu nasib para pelajar di sekolah /lebaytapibener Ini karena tadi, kurikulum pendidikan yang menyamaratakan semua siswa. Dengan begitu, aspek non-kognitif yang juga wajib dibina macam pendidikan karakter, jadi terabaikan karena para pelajar sibuk struggling demi deretan-bilangan-yang-katanya-menentukan-hidup-di-dunia-sekolah. Kurikulum berat, tolok ukur keberhasilan cuma nilai, dan pendidikan karakter terbengkalai--halooo, manusia itu nggak hidup pake rumus lho. Percuma otak pinter matematika fisika tapi personalitynya ga jelas, ga berkarakter. Bukannya pendidikan itu agar manusia menjadi "manusia yang berguna bagi bangsa dan negara dan syalalala..." tapi gimana mau berguna kalau cuma menang di otak doang?

Itu yang jadi masalah pendidikan Indonesia bagi saya.

Miris banget waktu denger berita tawuran pelajar tempo hari. Generasi penerus bangsa kan? Golongan terpelajar kan? Iya golongan terpelajar, belajar doang. Bukan golongan terdidik. Kalo terdidik itu berarti sudah satu paket sama karakternya juga. Mendidik itu kan, istilahnya, applying knowledges to others, dan knowledges itu bukan cuma ilmu eksak dan bahasa aja--ada ilmu etika dan bagaimana bersikap dan berperilaku biar jadi manusia yang bermanfaat, nggak cuma numpang hidup di dunia.

It's learning. Not just studying.

Jadi inget kemarin nonton drama Jepang yang judulnya "Blackboard: Jidai to Tatakatta Kyoushitachi" yang kalo dialihbahasakan jadi "Guru-guru yang Berjuang Bersama Zaman" menurut Sasha yang bahasa Jepangnya masih amburadul bin ngaco ini. Dan sumpah, drama itu indah banget. 3 episode yang bercerita tentang era pendidikan di Jepang--pasca perang, era 80an dimana banyak tindak kekerasan oleh pelajar, dan era sekarang dimana respek para siswa terhadap guru mulai berkurang. Yang paling saya ingat adalah salah satu dialog di episode satu, dimana Jepang tengah melakukan restorasi pendidikan pasca perang.

"Pendidikan itu masa depan negara, langkah pertama untuk mencapai kemajuan..."

 Negara maju manapun, awalnya adalah pendidikan.

Buat saya belum terlambat, kok. Meskipun dari awalnya memang sudah hancur, kalau beneran niat memperbaiki dunia pendidikan Indonesia, pasti bisa kok. Bagaimanapun juga, masih banyak potensi yang bisa digali di tanah Nusantara ini.

Dan untuk menambang emas, butuh usaha dan fasilitas yang sebanding bukan?

***

cross-posted to usepers.blogspot.com

2 Responses to “dari mata seorang sasha ; tentang pendidikan”

  1. Anonymous says:

    makasih sharingnya.. Baca sambil manggut-manggut nih. berasa lagi cerita sendiri hhe
    Cha negara mana yang punya pendidikan yang langsung mengacu pada minat dan bakat?
    M

  2. Sasha says:

    @aneki : eh, ini bener aneki kan? awkwkwkw /derp
    kalo ga salah di Jerman gitu aneki XD siswa2 disana itu cuma ngambil pelajaran2 yang mereka minati dan merasa punya bakat di situ. misalnya mau jadi dokter, dari awal SMP gitu kalo ga salah mereka cuma ngambil mata pelajaran IPA yang wajib, sisanya pilihan mau diambil mau nggak gitu XD

Your Reply