[fic] Tsugi no Kakurenbou wa, Zettai ni Kimi wo Mitsukeru yo! ; ch 07


.

a/n: dan akhir-akhir ini otak sama tangan saya suka ndak sinkron #sulk


summary: Ketika semuanya berubah--ketika memori yang mengikat batin mereka menghilang karena kecerobohan dalam suatu permainan petak umpet--apa yang akan terjadi pada dua insan yang sejatinya saling membutuhkan dan menyayangi, di masa depan nanti?

rate, genre: T, romance-drama-daily life

warning: AU, OOC.

disclaimer: I don't own anything, just the plot. No profit gained, just for fun. Believe me.



Chapter 07 - Kimochi no Labyrinth - click here to begin.






"Dingiiiin~"

Taketatsu Ayana mengeluh, merapatkan jaket tebalnya yang ia pakai sebagai perlindungan dari ganasnya cuaca dingin yang menyerang dalam masa-masa peralihan . Sesekali ia melirik Kana di sebelahnya--yang duduk berselonjor di atas rumput di tepi sungai ini sambil melempar batu-batuan ke sungai--dengan tatapan benci karena sahabatnya itu hanya mengenakan selembar pashmina sebagai penghangat di cuaca dingin ini, dan sisanya hanya pakaiannya yang biasa. One-piece dress sepanjang sepuluh senti di bawah lutut dilengkapi sepatu boots panjang. 

"Kana, kenapa sih kita tidak--HUACHIM!--bicara di dalam rumah saja?" gerutu Ayana sambil menggosok hidungnya. "Aku tidak repot-repot mengambil cuti kuliah hanya untuk kena pilek di desamu ini lho!"

Kana menoleh ke arah Ayana yang menggigil, lalu hanya melemparkan cengiran jahil pada sahabatnya itu.

"Siapa suruh baru bisa minggat dari kampus di waktu-waktu seperti ini," ledek Kana pada Ayana yang langsung mencubitnya. "Padahal kau datangnya musim semi saja. Kau tahu kan kalau aku suka jalan-jalan dan hanya berada di rumah kalau aku sedang ingin saja?"

"Cih, kau tak pernah mengerti perasaan anak rumahan sepertiku, sih," gerutu Ayana, diakhiri bersin satu kali. "Jadi? Apa yang ingin kaubicarakan di luar dingin-dingin begini? Masih mau curhat? Masih mau bilang padaku kalau kau tak bisa move on? Masih bingung? Hm?"

Kana merengut sedikit, kembali mengutuki kefrontalan Ayana dalam hati sekaligus sedikit lega juga karena Ayana sudah bisa menebak apa masalahnya tanpa harus ia ceritakan. Terkadang menceritakan apa masalah kita pada seseorang adalah satu hal yang cukup berat, karena diri kita tidak ingin mengingat kembali apa yang kita rasakan saat masalah itu di depan mata. 

"Aku bingung."

"Tuh kan, benar."

"Aku belum selesai bicara, Ayana."

"Aku tahu. Lanjutkan."

 Kana mendesah pelan, tatapan kedua manik cokelatnya yang kosong memandang ke kejauhan--ke arah hamparan pemandangan perbukitan yang ada tepat di seberang sungai ini, dan sekilas kelebat nostalgia masa kecil di areal perbukitan itu juga muncul dalam benaknya. Masa kecil yang polos, tanpa ada permasalahan berarti yang menjadi makanan sehari-hari dalam jiwa muda yang belum terlalu mengenal dunia. 

Masa kecil yang terlalu indah untuk dilupakan...

"Dia sudah berubah terlalu jauh ya, Kana?" tanya Ayana pelan. "Aku tahu kok, kau jadi ragu setelah mendengar saranku waktu itu karena ia sudah terlalu berubah. Kau tidak melihat kesempatan untuk--bersahabat, mungkin mendapatkan cintanya lagi kan?"

"Kurasa begitu..."

Hembus angin mengisi keheningan diantara mereka.

"Selama ini dia bicara padaku, dekat denganku--itu karena Kaaya. Kaaya yang berusaha meyakinkannya untuk mempercayaiku," gumam Kana. "Dia menyapaku pertama kali waktu itu--karena ia mempercayai Kaaya. Karena ia percaya perkataan Kaaya kalau aku adalah sahabat masa kecilnya. Karena Kaaya adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya setelah kejadian-kejadian tak mengenakkan yang menimpa dirinya..."

Ayana mendesah. Gadis itu kembali merapatkan jaket dan mengetuk-ngetukkan kaki, bergerak tak tentu adalah caranya untuk menjaga suhu tubuhnya. 

"Ternyata setelah melihat kenyataannya, saranku jadi tidak berlaku di sini, ya..." gumamnya. "Padahal aku sudah cukup optimis ketika memberikan saran itu..."

Entah mungkin hanya halusinasi pada pendengaran atau apa, tapi Kana menangkap sarkasme pada kalimat Ayana yang terakhir.

"Yaaaah, akan lebih efektif kalau kau lebih memilih masa depan daripada masa lalu, sih,"

"Maksudmu?" Kana mengernyitkan alis. 

"Kana, kau masih ingin dia mengingat masa lalunya kan--masa lalunya ketika dia menyayangimu, ketika kau adalah orang yang penting bagi hidupnya?" Ayana menatap Kana lekat-lekat, membuat Kana ingin mengalihkan wajahnya dari tatapan Ayana namun di sisi lain ia juga tak bisa menghindari tatapan tersebut. "Kau masih ingin dia mengingat kesalahan apa yang kau lakukan padanya kan? Kenapa? Sampai-sampai kau berkeras ingin ingatannya kembali, alih-alih berusaha untuk mendapatkan kepercayaannya lagi? Hanya karena ia cuma bisa mempercayai Kaaya?"

"Bukan begitu," tukas Kana gusar. "Aku--aku hanya ingin tahu apakah dia sudah memaafkan aku atau belum! Seumur hidup aku akan dihantui rasa bersalah kalau aku tidak tahu apakah dia sudah memaafkan aku atau belum--namun percayalah, Ayana... aku juga tak tega kalau ia harus mengingatnya, Kaaya bilang padaku kalau ia juga tak mau Okamoto-kun kembali mengingat masa lalunya..."

Ayana mendengus.

"Kontradiktif," kilahnya. "Pernyataanmu barusan kontradiktif, Kana. Jadi kau mau yang mana? Tak mungkin kau mau dua-duanya?"

Kana mencibir. Bukan pada Ayana, namun pada dirinya sendiri. Memberi ejekan kepada dirinya yang entah maunya apa--tidak mungkin juga kan Nobuhiko bisa memaafkannya tanpa ingat apa salah Kana? Dilema. Mungkin dari luar kelihatannya seperti itu, namun kenyataannya segala permasalahan ini hanya terletak pada Kana dan ketidakmampuannya untuk mengambil keputusan.

Atau haruskah ia lari pada pilihan ketiga.

"Kanacchi! Ayabou!"

Ayana seketika merengut mendengar panggilan tersebut dan dengan refleks meluncurlah segala kalimat protes yang ia tahu pada sosok seorang pemuda yang memanggilnya barusan--pemuda yang tengah mengerem sepedanya lima meter dari mereka.

Sang 'pilihan ketiga'.

"Ada apa, Miyu?" tanya Kana begitu Miyu mendekati mereka, dengan memasang tampang cuek pada Ayana yang protes karena dipanggil Ayabou--Ayana dan Miyu bahkan sudah berdebat kusir sejak hari pertama mereka bertemu dan ini sudah hari ketiga. Mungkin jika dibiarkan sebulan desa ini bisa hilang dari peta Jepang.

'Kayano memintaku memanggilmu--dan Kanacchi, kau mendengar ada suara-suara aneh tidak? Ada suara aneh di sekitar sini tapi aku tidak melihat siapa-siapa selain kau--AWWW!" teriak Miyu begitu Ayana menginjak kakinya. "Aduh--sakit tahu!"

"You deserve it. Bhueeek..."

Miyu mendengus, lalu kembali beralih pada Kana. "Pokoknya, Kanacchi, Kayano barusan berpapasan denganku--tampaknya ia akan jalan-jalan dengan Yuuki entah kemana, tapi dia bilang kalau ia mau minta tolong... sepertinya kau diminta main piano lagi oleh Okamoto-kun."

"Hee?" Kana mengerutkan alis. "Kalau begitu kan Okamoto-kun bisa langsung minta tolong padaku..."

Miyu mengangkat bahu. "Mungkin saja dia mau minta tolong padamu, tapi kau sedang tak ada. Makanya dia minta tolong pada Kayano dan... kenapa Kayano tidak minta tolong langsung padamu ya? Ah iya benar, aku lupa--ponselnya Kayano sedang rusak.  Ya jadi intinya--begitu. Kau langsung saja ke rumah Okamoto, deh, agar lebih jelas."

"O-oh, oke..." Kana mengangguk. "Ayana, aku duluan, ya. Kau nanti menyusul saja."

"Mm!"

Seketika setelah Kana menghilang dari jarak pandang Kana dan Miyu, Ayana memandang Miyu dengan sebal sampai-sampai Miyu merasa terganggu dengan pandangan Ayana tersebut. 

"Apa sih?" gerutu Miyu. "Kau itu selalu cari ribut denganku bahkan di hari pertama kita bertemu."

Ayana mendengus. "Huh. Kau yang cari masalah, tahu."

"Memangnya apa salahku?" geram Miyu.

"Aku hanya tidak suka kau. Itu saja. Salahmu adalah lahir sebagai orang yang tidak aku sukai!"

"Hei, aku bahkan baru mengenalmu tiga hari!" seru Miyu. "Atau jangan-jangan--kau tidak suka padaku karena aku suka pada Kanacchi dan kau tahu Kanacchi menyukai--tepatnya, masih menyukai--Okamoto?"

Ayana menghela napas.

"Mungkin."

"Huh," dengus Miyu. "Asal kau tahu saja ya, jangan pandang sebelah mata rasa sayangku pada Kanacchi. Rasa sayangku padanya sama istimewanya dengan rasa sayang Kanacchi pada Okamoto. Aku tahu betapa berharganya perasaan itu, jadi aku bukan cowok tolol yang tak menghargai perasaan Kanacchi pada Okamoto--jangan samakan aku dengan kebanyakan orang."


***

Manik hitam Nobuhiko memandang kosong pada kanvas di depannya. Coret-coretan abstrak kombinasi warna biru dan merah muda memenuhi kanvas yang tadinya putih. Hanya biru dengan saputan merah muda. Tidak ada warna lain lagi. Warna di palet Nobuhiko juga hanya dua warna itu. Telinganya masih setia menangkap nada-nada yang keluar dari piano Kana, dan itulah yang bisa ia goreskan sebagai hasil dari penafsiran otak dan emosinya terhadap lagu Hatsukoi no Oto yang dimainkan Kana di pianonya. 

Biru sebagai representasi kesedihan--segala rasa kesepian, haru biru, dan kepedihan.

Merah muda sebagai representasi kenangan manis--cinta, tawa dan kehangatan.

Nobuhiko tidak habis pikir kenapa lagu itu, yang memiliki lirik sangat cantik dan alunan nada yang riang  masih bisa membuatnya merasakan 'biru' itu...

..atau itu bukan salah lagunya?

"Okamoto-kun?" Kana menghentikan permainan pianonya melihat Nobuhiko yang tampak melamun. "Kau... tidak apa-apa kan?"

"M-mm. Tidak apa-apa. Teruskan saja, Kanacchi."

Kana menghela napas pendek, lalu melanjutkan permainannya dengan apik seperti biasa. Sampai pada bagian klimaks lagu, tiba-tiba Nobuhiko bertanya pada Kana. 

"Ne, Hanazawa-san. Apa artinya lagu ini untukmu?"

"Eh?" Kana terdiam, lalu menoleh ke arah Nobuhiko setelah menghentikan permainannya. "...arti lagu ini--bagiku? Ini.. lagu favoritku ketika aku masih kecil..."

"Apakah aku tahu soal lagu ini saat itu?" 

"Eh?"

Keheningan yang menyesakkan seketika menyeruak--membuat Kana membeku di tempatnya.

"Ya, kau tahu," cerita Kana. "Kau adalah orang pertama yang aku ceritakan mengenai lagu itu. Saat itu  kau langsung menyukai lagu itu dan memintaku mengajari lagunya..."

"...kau tidak berbohong, kan?"

"Kenapa aku harus berbohong?" tanya Kana, pertanyaan Nobuhiko barusan memicu semua emosi yang selama ini ia pendam naik ke permukaan. Segala kesepian. Segala sakit. Segala takut. Segala rasa bersalah. "Berhenti dengan segala keparanoidan itu, Okamoto-kun..."

Nobuhiko berdecak. "Kau tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu, perasaan orang yang kehilangan masa lalunya ketika diceritakan oleh orang lain--tapi aku merasakannya. Aku merasakan ragu yang muncul di batinku ketika mendengar cerita dari orang lain--apakah benar aku pernah mengalami hal seperti itu? Apakah betul itu pernah terjadi? Aku tidak tahu, bukan? Bahkan dulu aku pernah memutuskan untuk tidak mempercayai siapa-siapa mengenai masa laluku sebelum aku menyadari Kaaya terlalu berharga untuk tidak aku percaya."

Genggaman tangan Kana di atas pangkuannya gemetar.

"Kalau begitu, kenapa tidak berusaha kau ingat?" gumam Kana setengah merintih. "Kenapa kau tidak berusaha untuk mengingatnya alih-alih menghilangkan kepercayaanmu terhadap lingkunganmu? Dengan begitu kau akan mengetahui faktanya, kan?"

Suasana hening yang datang berikutnya terasa lebih mencekam dibanding sebelumnya. Masing-masing membeku di tempatnya, sibuk dengan pikiran dan emosi masing-masing. Nobuhiko menatap punggung Kana dalam diam sebelum berkata lirih namun terdengar tajam di telinga Kana--kontradiktif memang. Sama dengan perasaan Kana--juga Nobuhiko--saat ini.

"Aku sudah bilang padamu, kan?" gumamnya. "Aku sudah mengunci kotak masa laluku, aku sekarang mendedikasikan hidup untuk masa depan--"

"Tapi yang kau lakukan dengan yang kau katakan itu kontradiktif! Bagiku, kau jadi terlihat hipokrit dengan segala omong-kosong 'hidup-untuk-masa-depan'-mu itu!" seru Kana tak tertahan--sekaligus mengomeli diri sendiri. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Nobuhiko terdiam membeku.

"Kau juga. Hipokrit yang sama sepertiku..." Nobuhiko terkekeh. "Kau hanya berlagak mendukungku dengan tak berusaha mengembalikan ingatanku, tapi kau justru menginginkannya kan? Kau ingin ingatanku kembali, agar aku bisa mengingat kejadian-kejadian pahit di masa laluku..."

"Ada yang salah dengan teorimu, Okamoto-kun--walaupun memang harus kuakui, kau benar saat kau bilang aku hipokrit. Oke, aku terima itu. Tapi aku punya alasan tersendiri kenapa aku ingin kau mengingat masa lalumu--aku ingin minta maaf! Aku ingin minta maaf untuk kesalahanku yang kau lupakan!"

Nobuhiko membeku.

Kesalahan apa?

Ia tidak tahu apa-apa... dan untuk membiarkan Kana hanyut dalam rasa bersalah itu seumur hidupnya, apakah lantas membuatnya bersalah juga?

Tentu saja tidak... kan?

Bagaimanapun juga ia kan tidak tahu apa-apa--tapi haruskah ia tahu, sekarang?

"Tolong, Hanazawa-san... jangan buat aku ingin mengingat apa yang sudah aku tinggalkan..."

Semua berakhir. 

Nobuhiko beranjak pergi--meninggalkan kanvas, palet, kuas, dan Kana yang masih terduduk membeku di atas kursi pianonya. Terisak tanpa suara--menahan perih atas kehilangan yang kedua kalinya.

***
to be continued
***

a/n: sumpah maaf banget lama updatenya XOX dan jalan ceritanya perasaan makin absurd lol
btw, ah, Kanacchi sungguh cantik sekali di PV Hatsukoi no Oto :3 

Your Reply