[fic] Tsugi no Kakurenbou wa, Zettai ni Kimi wo Mitsukeru yo! ; ch 04


.

a/n: beneran daily update dong. lol. nobukana banzai!


summary: Ketika semuanya berubah--ketika memori yang mengikat batin mereka menghilang karena kecerobohan dalam suatu permainan petak umpet--apa yang akan terjadi pada dua insan yang sejatinya saling membutuhkan dan menyayangi, di masa depan nanti?

rate, genre: T, romance-drama-daily life

warning: AU, OOC.

disclaimer: I don't own anything, just the plot. No profit gained, just for fun. Believe me.

Chapter 04 - Mirai Sketch - click here to begin.

Nobuhiko pikir, tidak ada yang banyak berubah dengan kembalinya Kana ke desa ini.

Selain suara denting piano yang akhir-akhir ini sangat sering ia dengar berasal dari ruang piano di balik jendela rumah gadis itu dan kemunculan teman sekelas mereka di jenjang sekolah dasar yang semakin intens saja--Irino Miyu dan Kaji Yuuki--Nobuhiko tidak merasakan perubahan apa-apa. Hidupnya tetap datar seperti biasa, didedikasikan pada goresan kuas di atas kanvas. Baginya, Kana hanyalah serpihan masa lalu yang sudah hilang, dan... tidak memiliki dampak apapun untuk kehidupannya sekarang. 

Ayolah, gadis itu sudah menghilang dari hidupnya selama tujuh belas tahun. 

Sekalipun ia berarti bagi hidupnya, tapi itu dulu, lain dulu lain sekarang bukan?

Nobuhiko sudah berkomitmen untuk tidak melihat ke masa lalu. Ia hidup untuk masa kini dan masa depan--pintu ruangan berisi tumpukan kenangan buruknya telah ia kunci dan tinggalkan, mungkin tak akan pernah ia buka lagi. Ia tak mau diganggu oleh hantu-hantu yang akan menyeretnya jauh lebih dalam ke jurang keterpurukan--meskipun ia sendiri tak tahu pasti seberapa banyak kenangan buruk yang ia punya. Kenangan buruknya sejauh ini sudah cukup menyakitinya, tak perlu ditambah lagi.

Namun tentu saja, Kana berbeda dengan Nobuhiko. 

Di saat Nobuhiko mengunci pintu kenangan buruknya, Kana tenggelam dalam lautan rasa bersalah yang memerangkapnya bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi. Menurutnya, ia adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Tidak akan ada orang lain lagi. Ia pemicunya. Ia yang menyebabkan kecelakaan itu--seandainya saat itu ia tak mengatakan hal yang keterlaluan padanya. Ini semua salahnya--mungkin ini adalah hukuman dari Tuhan akibat tindakan denialnya saat itu.

Dan Kana tidak tahu pasti apakah Nobuhiko betul-betul memaafkannya saat itu. Satu-satunya cara bagi Kana untuk keluar dari kubangan rasa bersalah itu adalah kata maaf untuknya--namun bagaimana caranya ia meminta maaf jika Nobuhiko sendiri tak ingat apa kesalahan Kana?

Atau memang Kana juga harus melupakan segalanya, lalu memulai kembali lembar memorinya bersama Nobuhiko--seperti yang telah disarankan Ayana?

***

"Wah, ada penghuni baru di tempatku rupanya."

Kana terlonjak mendengar suara yang barusan menembus sumpalan earphone di telinganya barusan. Ia tengah duduk bersandar di bawah pohon besar sebelah rumahnya sambil mendengarkan lagu-lagu di iPod-nya ketika Nobuhiko menghampirinya sambil membawa kanvas dan peralatan lukisnya yang lain. Buru-buru gadis itu melepaskan earphone putih yang digunakannya sebagai sarana mendengarkan lagu di iPod-nya, lalu cepat-cepat berdiri. "Ma-maafkan aku--"

"E--eh, tidak usah berdiri dan minta maaf begitu, Hanazawa-san!" seru Nobuhiko, setengah panik setengah ingin tertawa melihat apa yang dilakukan Kana barusan. "Aku tidak bermaksud mengusir kok, serius. Maaf kalau aku mengagetkanmu. Biasanya kan ini tempatku melukis, dan entah kenapa semua orang di desa ini sudah menandai tempat ini sebagai 'daerah kekuasaanku' atau semacam itu. Hehehe. Kalau kau mau melanjutkan istirahatmu silakan saja, Hanazawa-san. Di bawah pohon ini memang enak sekali tempatnya, jadi karena aku juga butuh inspirasi untuk lukisanku yang baru, bolehkah aku juga duduk di sini?"

Kana berusaha membawa dirinya untuk tidak bersikap canggung dengan tidak mengingat-ingat masa lalu dimana mereka sering sekali bermain berdua di bawah pohon ini. "Si-silakan saja! Silakan!"

Nobuhiko tersenyum, memicu pipi Kana untuk merona merah. "Terima kasih, Hanazawa-san. Kau juga duduk, dong. Jangan berdiri seperti itu, hehehe."

"U-um."

Gadis itu kembali duduk, menyandarkan punggungnya ke pohon dan kembali memasang earphone di telinganya, memutar lagu yang barusan terinterupsi. Sementara Nobuhiko di sampingnya, membuka sketchbook dan menggores-goreskan pensil di atasnya, menggambar sesuatu.

"Ne, Hanazawa-san,"

"Mmm?" Kana mengecilkan volume lagunya untuk mendengar lebih jelas apa yang akan dikatakan Nobuhiko.

"Aku teringat perbincanganmu dengan Miyu dan Yuuki waktu itu," gumam Nobuhiko dengan fokus masih pada sketsanya. Pasti yang dimaksud Nobuhiko barusan adalah perbincangan yang terjadi di ruang piano Kana, nyaris satu bulan yang lalu--ketika Nobuhiko meminta Kana untuk memainkan lagu Hatsukoi no Oto di pianonya, dan saat itu muncul dua teman sekelas mereka sewaktu masih bersekolah di sekolah dasar--Miyu dan Yuuki. Saat itu, Kana, Miyu dan Yuuki terlibat pembicaraan penuh nostalgia sementara Nobuhiko hanya menyimak pembicaraan mereka, sama sekali tidak menyumbangkan cerita. "Aku tidak mengerti apapun yang kalian bicarakan. Padahal seharusnya aku tahu, bukan?"

Kana menoleh ke arah Nobuhiko, ekspresi bingung bercampur tak enak muncul di wajahnya. "Maksudmu?"

"Ya, kau tahu kan apa yang terjadi padaku. Ingatanku sebelum kecelakaan tujuh belas tahun yang lalu hilang. Dan menurut Kaaya, kau pindah ke kota setelah aku kecelakaan. Berarti, yang kau ceritakan bersama Miyu dan Yuuki waktu itu, aku seharusnya tahu, bukan?"

Kana tertunduk, jawaban lirih keluar dari mulutnya. "Begitulah."

"Sudah kuduga," pemuda itu menghela napas dengan ekspresi yang tak berubah. "Aku melupakan banyak hal, bukan begitu?"

"Hm, kupikir ya," jawab Kana sambil meremas-remas tangannya. "A-anoo, Okamoto-kun."

"Ya?"

"Kau... tidak pernah berpikir untuk... mendapatkan kembali ingatanmu, Okamoto-kun?" tanya Kana sedikit gugup.

"Kenapa harus?"

Jantung Kana seolah berhenti mendengar pertanyaan dari Nobuhiko barusan.

"Karena... pasti masih ada banyak kenangan yang terlalu berharga untuk kaulupakan, Okamoto-kun--"

"Tapi bagaimanapun juga, kenangan itu hidup di masa lalu, kan?" Nobuhiko menghentikan gerakan tangannya menggoreskan pensilnya di atas kertas, lalu menatap mata bulat Kana lurus-lurus. "Aku bukan tipe orang yang suka memandang masa lalu dan terjebak dalam nostalgia. Aku sudah kehilangan masa laluku, dan aklu tak mau kehilangan masa depanku, itulah alasanku tak mau berkubang dalam masa lalu terlalu lama."

"Jadi bagimu... masa lalu itu tidak penting, Okamoto-kun?" tanya Kana lirih.

"Bagaimanapun juga, itu sudah terjadi. Tidak bisa digapai lagi--sementara masa depan masih bisa kita raih, bukan?" tanya Nobuhiko retoris."Kalau kau ada di posisiku, kau pasti bisa mengerti kenapa aku bisa berpikiran seperti ini."

"Aku mengerti, Okamoto-kun..." gumam Kana. "Tapi kau juga harus tahu, ada juga orang yang mati-matian berjuang untuk memperbaiki kesalahan di masa lalunya, karena kesalahan itu justru menyakitinya di masa depan... semua orang tahu, Okamoto-kun, penyesalan itu datangnya di akhir."

***

Aku tak mau menambah penderitaannya, sungguh--aku hanya ingin dia ingat, dulu ia pernah menyayangiku, dan begitu juga aku padanya--meskipun aku terlalu pengecut untuk mengakuinya.

***

"Kanacchi, aku mohon, sekali lagi mohon, jangan buat Nobu mengingat kembali masa lalunya yang hilang darinya sejak kecelakaan itu. Aku mohon. Ini demi kebaikannya juga."

Kaaya mengatakan kalimat barusan dengan air mata tertahan. Tangannya sibuk melemparkan batu-batuan kecil ke dalam sungai yang berarus tenang, airnya yang bersih tampak segar. Dulu, Kaaya, Kana, dan Nobuhiko sering bermain air di sini jika musim panas tiba. Pagi ini, Kaaya mengajak Kana ke tepi sungai untuk membicarakan sesuatu--yang tak lain adalah Nobuhiko.

"Seandainya kau tetap di sini pasca kecelakaan itu, kau pasti akan mengerti, Kanacchi, kenapa aku tak mau ia kembali mengingat masa lalunya sebelum kecelakaan. Aku tahu apa yang terjadi di sekolah saat itu, Kana, dan aku tahu perasaannya sakit. Ia--ia sudah terlalu banyak menderita, Kanacchi... ia kehilangan ingatannya. Ia kehilangan kasih sayang dari orangtuanya--aku belum cerita ya kalau mereka pergi meninggalkannya hanya untuk kembali menuntut ilmu dan mengejar karier di luar negeri, meninggalkan dirinya di bawah asuhan orangtuaku?"

Kana tertunduk. Ia tak tahu sama sekali, walaupun sebenarnya dulu keadaan keluarga Okamoto yang dingin sudah ia rasakan. Beruntung masih ada keluarga Kayano beserta kedua anaknya, Ai dan Aoi, yang mau merawat anak lelaki itu. Jika diingat-ingat--Kana memang jarang melihat kedua orangtua Nobuhiko.

"Aku tak tahu... kalau hidupnya sangat berat..."

Kaaya menoleh, menyunggingkan sebuah senyum pahit. "Tidak apa-apa, Kanacchi. Bukan salahmu. Bukan salahmu juga kalau kau ingin ingatannya kembali... tapi, Kanacchi... aku tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika ia tahu kalau ia pernah mengalami kehilangan lain selain kehilangan-kehilangan menyakitkan yang ia alami selama ini."

Ada keheningan sejenak sebelum Kaaya melanjutkan.

"Dia menyayangimu, Kanacchi. Dia mencintaimu, dan aku tahu itu bukan cinta monyet biasa karena aku tahu ia masih akan tetap mencintaimu sampai sekarang jika saja ingatannya saat itu tidak hilang. Dia sangat mencintaimu sampai cukup untuk membuatku iri akan cintanya padamu."

"Aku... tahu..." gumam Kana. "Dan semuanya... salahku...."

"Aku membicarakan hal ini bukan untuk menyalahkanmu, percayalah," Kaaya berjalan mendekati Kana untuk menepuk pundak gadis itu. "Kita sama-sama menyayangi Nobu, dan sama-sama menginginkan yang terbaik untuknya, bukan begitu?"

Kana meremas tangannya, batinnya berkecamuk, tenggelam dalam dilema.

"Aku menginginkan yang terbaik baginya, Kaaya, tapi..." desis Kana pelan. "...aku masih egois dengan masih menginginkan rasa cintanya untukku. Aku--sungguh menyesal telah bersikap denial saat itu, dan--ah, aku memang keterlaluan bukan, Kaaya? Dan sekarang aku dengan tidak tahu malunya kembali mengharapkan cintanya..."

"...Aku mengerti, Kanacchi. Aku mengerti..."

Kaaya tak bisa melakukan apa-apa selain memeluk Kana dan membiarkan gadis itu menangis tanpa suara di dalam pelukannya.

***

I have loved you for a thousand years--I'll love you for a thousand more.
(Christina Perri - A Thousand Years)

***

To be continued

***

Your Reply