[fic] Tsugi no Kakurenbou wa, Zettai ni Kimi wo Mitsukeru yo! ; ch 05


.

a/n: di saat harus bikin fluff dengan playlist berisi lagu-lagu galau... /matiaja


summary: Ketika semuanya berubah--ketika memori yang mengikat batin mereka menghilang karena kecerobohan dalam suatu permainan petak umpet--apa yang akan terjadi pada dua insan yang sejatinya saling membutuhkan dan menyayangi, di masa depan nanti?

rate, genre: T, romance-drama-daily life

warning: AU, OOC.

disclaimer: I don't own anything, just the plot. No profit gained, just for fun. Believe me.

Chapter 05 - Kibou ga Aru - click here to begin

Oktober.

Baru awal musim panas tahun ini Kana kembali ke rumah peninggalan neneknya di desa yang sangat asri ini, dan sekarang musim gugur sudah di depan mata. Tak terasa bagi Kana, mungkin karena ia terlalu menikmati setiap detiknya tinggal di desa tempatnya tumbuh besar ini. Ia kembali menekuni pianonya, dan ia mendapatkan teman-teman masa kecilnya di sisinya lagi. Meskipun segalanya sudah berubah, namun Kana senang berada di sini lagi. Ia tidak menyesal cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya demi tinggal lagi di desa--meninggalkan Ayana yang menyumpahinya saat ia diwisuda--dan menikmati hidup pedesaan yang tenang dan damai. Kebun bunga dan sayuran serta piano peninggalan neneknya cukup untuk memberinya pekerjaan di desa ini. 

Dan satu hal yang paling disukainya soal kembali ke desa adalah pohon besar itu.

Pohon besar itu sepertinya memang magnet bagi setiap seniman yang membutuhkan inspirasi. Kana berpikir, pantas saja Nobuhiko betah berjam-jam di bawah pohon itu, kadang sampai Kaaya harus meneriakinya untuk makan siang. Pernah juga saat turun hujan pemuda itu masih terpaku di bawah pohon besar itu, dan butuh waktu sekitar tiga puluh menit bagi Kana untuk menyeretnya masuk ke dalam rumahnya. 

Jika duduk di bawah pohon itu, ide-ide Kana untuk menciptakan lagu selalu mengalir. Kalau dulu ia hanya membawa iPod untuk mendengarkan lagu di bawah pohon itu, kini Kana juga membawa pena dan partitur. Mungkin selama di kota ia memang jarang bermain piano, tapi untuk soal mengkomposisi musik, ia masih sering melakukannya baik melalui software komputer atau melalui aplikasi-aplikasi di ponselnya. Hari ini, setelah mengurus banyak hal di kebunnya, ia memutuskan untuk bersantai di bawah pohon besar itu untuk melanjutkan lagunya.

Dan Kana baru menyadarinya ketika melihat pohon yang tak berpenghuni--Nobuhiko tidak keluar rumah selama dua hari ini.

Mungkin Kaaya menghukumnya. Atau memang ia sedang ingin menyendiri di kamarnya tanpa ingin diganggu siapapun--seniman manapun seperti itu, kan? Kana juga tahan mengurung diri berhari-hari di kamarnya jika sedang mengerjakan komposisi lagu atau menulis draft novel kolaborasinya dengan Ayana. Kana ingin bertemu dengannya, namun jika benar keadaan Nobuhiko sedang tak bisa diganggu begitu, ia lebih memilih menjauh dulu.

Tiba-tiba pintu rumah di sebelahnya terbuka, dan Kana setengah berharap itu Nobuhiko--ternyata Kaaya. Membawa tas tangan besar warna putih kesayangannya dan tampak terburu-buru. Mengenakan one-piece dress berwarna putih yang sering digunakannya ketika bepergian dan sepatu boot berhak tinggi. Raut wajahnya tampak sumringah ketika ia melihat Kana.

"Kanacchi!" serunya girang. "Kanacchi, kumohon, kumohon! Bantu aku, ya?"

"E-eh?" Kana terpaku di tempatnya sementara Kaaya menghampirinya dengan beringas, lalu mengguncang-guncangkan tangan Kana dengan gemas. "A-a-ada apa, Kaaya?"

"Tolong bantu aku, Kanacchi~ aku ada kuliah sampai malam hari ini~!" jawab Kaaya, terdengar panik. "Aku bisa tak lulus kalau aku bolos lagi hari ini, tapi--tapi--kau tahu kan hari ini tanggal berapa?"

"...tanggal 10?"

"Dua minggu lagi?"

"24?"

"Nah! Kau tahu kan maksudku?"

"Memangnya kena--ooooh, aku mengerti," Kana mengangguk mengerti, setengah ingin tertawa. Ia nyaris lupa kalau Nobuhiko punya kebiasaan aneh yang membuat Kana tak habis pikir dibuatnya. Dua minggu sebelum hari ulang tahunnya, tanggal 24 Oktober, pemuda itu pasti sakit. Sejak kecil begitu--dan Kana tidak menyangka kalau hal itu akan terus bertahan sampai ia dewasa kini. "Jadi... dia sakit?"

"Sejak dua hari yang lalu," jawab Kaaya, sekaligus menjawab pertanyaan Kana mengapa dua hari ini ia tidak melihat Nobuhiko keluar rumah. "Jadi, kumohon, Kanacchi! Jaga dia untuk sehari iniiiiii saja, ya? Aku akan belikan kue untukmu sepulang kuliah nanti deh~"

"E-eh tapi apa tidak apa-apa?" tanya Kana ragu, tapi Kaaya tahu kalau Kana mau. "Selama ini kan kau yang menjaganya kalau sakit..."

"Dia sudah cukup merepotkanku selama nyaris seumur hidupku merawatnya ketika sindrom-sakit-sebelum-ulang-tahunnya ini menyerang, Kanacchi. Dia harus tahu kalau aku juga punya kehidupanku sendiri. Ya kalau aku selesai kuliah cuma dua tahun seperti dia sih, tak masalah, tapi dia harus tahu kalau tak semua orang punya kapasitas otak dan tingkat rajin maksimal seperti dia!" gerutu Kaaya dengan kecepatan berbicara tingkat tinggi. "Aku minta maaf, tapi--kumohon..."

"Ah, iya, aku mengerti. Kebetulan aku sedang luang..."

"Sedang tidak mengedit naskah kan?"

"Ya. Ayana bilang dia akan terlambat mengirimkan naskahnya--"

"Syukurlaaaaaah!" Kaaya meloncat kecil di tempatnya. "Aku akan belikan chocolate cake yang paling enak yang pernah aku tahu~ terima kasih ya, Kanacchi!" Kaaya memberikan bungkukan dalam untuk mengekspresikan rasa terima kasihnya. "Maafkan aku sudah merepotkan--"

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku senang bisa membantu."

"Tolong ya~dadah, Kanacchi! Kau bisa pegang janjiku soal chocolate cake itu!"


Kana tersenyum kecil, lalu balas melambaikan tangannya pada Kaaya yang berlari ke arah jalan besar menuju kota. Sejenak Kana terpaku di tempatnya, dan baru ingat kalau seumur hidup ia belum pernah merawat orang sakit.


***

"Okamoto-kun, bagaimana keadaanmu?"

Itu pertanyaan pertama yang bisa diajukan Kana begitu memasuki kamar Nobuhiko--Kaaya memberitahunya letak kunci duplikat kamar itu melalui e-mail karena ia lupa memberitahunya secara langsung. Kamar bernuansa peach itu cukup besar dan cukup tertata rapi untuk ukuran kamar seorang pemuda--kecuali noda-noda cat yang menghiasi lantai kayunya dan tube-tube cat minyak yang berserakan. 

"Ngg--siapa itu?"

Nobuhiko menurunkan selimut yang dipakainya untuk menutupi wajahnya sampai sebatas mata, lalu melirik ke arah pintu dan melihat sosok Kana di situ. Kembali ditutupnya wajah dengan selimut lalu tampaknya, dari cara bergeraknya, ia mengubah posisi tidurnya menjadi tidur miring, memunggungi pintu tempat Kana berdiri.

"Hanazawa-san ya..."

"U-umm. Kaaya bilang ia ada kuliah pertaruhan hidup dan mati... jadi dia memintaku untuk menjagamu."

"Hngggh. Kenapa kuliahnya tak selesai-selesai, sih, lama amat...."

"Kau yang terlalu cepat lulus, Okamoto-kun..." gumam Kana nyaris tak terdengar, sambil berjalan mendekati pemuda itu "Jadi? Bagaimana keadaanmu?"

"Baik-baik saja." jawab Nobuhiko tidak jelas karena mulutnya tertutup selimut, lalu Kana memutuskan untuk membuka selimut Nobuhiko secara paksa. Wajahnya memerah karena demam tinggi, rambutnya basah karena keringat. Di bawah selimutnya pemuda itu masih memakai selembar jaket dan syal mengelilingi lehernya. Dan melihat sampah tisu yang juga turut berserakan, Kana menyimpulkan kalau Nobuhiko juga terserang flu. Gadis itu menghela napas, lalu terlonjak kaget setelah memegang dahi Nobuhiko.

"Sepanas ini kau bilang baik-baik saja, Okamoto-kun?" Kana nyaris berseru, setengah panik setengah gemas. "Kau sudah minum obat belum?"

"Nggg..."

Tiba-tiba ponsel Kana berdering--ada e-mail yang masuk. Kaaya.

from: Kaaya (kayano.ai@xxxx.co.jp)
subject: aku lupa bilang!

Kanacchiii, maaaf aku lupa bilang ヘ(・_|
Dari kemarin Nobu tidak mau minum obat (>_<)
Aku harap kau bisa membuatnya minum obat yaaa, Kanacchiii 八(^□^*)
Selamat berjuang! p(*^-^*)q Sekali lagi, maaf aku merepotkan. Terima kasih banyaaak :3    
         

Seketika dahi Kana mengernyit melihat pesan yang masuk barusan, dan segera ia melemparkan tatapan tajam pada Nobuhiko yang segera menutup kembali wajahnya dengan selimut. 

"Jadi kau belum minum obat sama sekali, Okamoto-kun?"

"...belum."

"Ya ampun," Kana menepuk dahinya keras. "Aku tahu kau memang tak suka yang pahit-pahit, tapi kau akan lama sembuh kalau kau tidak minum obat, Okamoto-kun!"

"Tuh, kau kan tahu tanpa perlu aku beri tahu kalau aku benci obat. Baunya saja bikin mual, tahu..."

Kana berusaha mengingat-ingat. Ia tak tahu sama sekali cara keluarga Kayano merawat Nobuhiko ketika sakit--dan Kana mulai merasa ia bukan sahabat yang baik. Kana tahu Nobuhiko benci obat sejak dulu, dan anehnya Kana tak pernah bertanya-tanya bagaimana cara Nobuhiko bertahan tanpa obat sementara dia sering sakit seperti ini.

"Kalau aku buatkan rebusan daun bawang, bagaimana?"

"Aku lebih baik makan macaroon daripada itu..."

"Iiih!" gerutu Kana gemas. "Pokoknya, aku tidak mau tahu. Kau. Harus. Minum. Obat. Titik. Atau aku akan bawa kulkasmu ke rumahku."

"Apapun asal jangan itu! Persediaan cemilanku ada di situ semua--"

"Ya sudah, makanya minum obat! Aku akan buatkan bubur, dan setelah itu kau harus makan obatnya."

"Nggh... terserah kau saja, deh."

***

"O-KA-MO-TO-KUN. AYO DIMAKAN BUBURNYA."

Kana nyaris kehilangan kesabarannya melihat Nobuhiko yang menolak mentah-mentah untuk memakan bubur yang sudah susah payah dibuatnya, dan Kana bersyukur ia tak pernah bercita-cita menjadi perawat. 

"Mulutku tidak enak, Hanazawa-san, pahit~" Nobuhiko mengeluh seperti anak kecil, menggembungkan pipinya dengan menggemaskan--satu kesamaan mereka berdua, punya gerak refleks untuk menggembungkan pipi jika sedang kesal atau merajuk. "Nanti kalau tidak habis bagaimana~"

"Yang penting kau makan. Ayolah, Okamoto-kun... ini agar kau cepat sembuh, oke? Aku suapi bagaimana? Sedikit saja, ya?"

"Sesuap."

"Dua suap."

"Satu setengah."

"...Buka dulu mulutmu, sini aku suapi."

Akhirnya Nobuhiko menurut dengan memaksakan dirinya untuk duduk di atas tempat tidurnya, lalu membuka mulut dan membiarkan Kana menyuapinya. 

"Buburnya tidak lebih enak daripada buatanku."

"Uh, iya deh, kau memang lebih jago memasak daripada aku," gerutu Kana pelan. "Yang penting ada makanan masuk ke perutmu dan kau bisa minum obat, oke?"

"Ng," gumam Nobuhiko sambil mengangguk. "Mau lagi."

"Eh?" mata Kana membulat senang mendengar permintaan Nobuhiko barusan. "Lagi?"

"Iya. Rasa buburmu familiar, Hanazawa-san."

Kana tersenyum bahagia, lalu menyuapkan sesendok penuh bubur itu pada Nobuhiko. "Habiskan, ya! Setelah ini kau minum obat dan tidur, oke!"

Rasa puas bercampur bahagia muncul di hati Kana melihat respon dari Nobuhiko yang mengangguk. Dan ternyata tak butuh waktu lama bagi Nobuhiko untuk menghabiskan makanannya. 

"Aku barusan bertanya-tanya kenapa rasa buburmu begitu familiar, Hanazawa-san..." ujar Nobuhiko begitu meminum obatnya. "Pasti dulu, aku sering makan bubur buatanmu, ya?"

"Eh? Tidak, kok," Kana menggeleng, sedikit kaget juga. Tumben Nobuhiko menyinggung-nyinggung masa lalu seperti ini. "Dulu aku tak pernah merawatmu kalau kau sakit--hehe. Aku hanya tahu kalau kau sering sakit dua minggu sebelum ulang tahun dan ketika musim semi karena kau alergi serbuk bunga... dan aku sama sekali tak pernah merawat orang sakit seumur hidupku."

"Berarti, ini pertama kalinya kau merawat orang sakit? Astaga."

"Hehehe..." Kana memukul pelan sisi kepalanya dengan kepalan tangannya. "Ya sudah, lebih baik kau tidur sekarang. Aku akan beres-beres di sini. Oke?"

Tak butuh waktu lama bagi Nobuhiko untuk jatuh tertidur--dan betapa Kana menyukai wajah tertidurnya yang tampak polos dan tak berdosa. Gadis itu tersenyum dan membereskan peralatan makan serta dapur yang tadi digunakannya untuk memasak--sebelum ia sendiri juga tertidur di sofa ruang keluarga Okamoto.

***
Malam semakin larut, dan Kayano Ai masih dalam perjalanannya menuju rumah. Tangannya menenteng sebuah kotak kue berisi chocolate cake yang dijanjikannya untuk Kana. Gadis itu melangkah cepat-cepat, sedikit takut juga karena sudah malam. Mendadak suara bel sepeda terdengar muncul dari belakangnya, membuat gadis itu terlonjak kaget. Kaaya berbalik, dan dengan segera mengomel usai melihat siapa pengendara sepeda sialan yang barusan mengagetkannya.

"Yuu-kun!" seru Kaaya dengan suara melengking. "Kau mengagetkanku, tahu!"

Sang pengendara sepeda, Kaji Yuuki, hanya tersenyum jahil melihat reaksi Kaaya. "Maaf, maaf. Baru pulang kuliah, hm?"

"Begitulah..." Kaaya mengangkat bahu.

"Mau kuantar ke rumah? Berbahaya lho, perempuan berjalan sendirian di larut malam seperti ini."

"Ini baru jam sepuluh malam lho, Yuu-kun. Dan aku berat."

"Tapi aku kuat. Cepatlah naik, jangan suka menolak kebaikan orang."

Kaaya menghela napas, lalu tersenyum dan memutuskan untuk menerima tawaran Yuuki barusan. Ia naik ke sadel penumpang dan membiarkan Yuuki mengantarnya sampai rumah.

"Aku berat kan, Yuu-kun?"

"Hm. Lebih berat daripada terakhir kali aku memboncengmu."

"Terakhir kali kau memboncengku itu saat kita kelas 6 SD, Yuu-kun..." gerutu Kaaya sambil menggebuk punggung Yuuki pelan. "Ternyata... sudah lama sekali, ya."

"Hmmm," Yuuki menggumam. "Dan kau tahu, Ai? Aku merindukanmu."

"Aku tahu, Yuu-kun pasti akan terus merindukanku," tukas Kaaya tanpa terdengar over percaya diri. Ia menyandarkan kepalanya pelan ke punggung Yuuki. "Aku juga merindukanmu, Yuu-kun... tapi kau tahu, aku tak bisa meninggalkannya. Ia terlalu bergantung padaku--dan aku juga masih belum bisa membangun rasa percayanya untuk Kanacchi."

Yuuki tersenyum--meski Kaaya tidak bisa melihatnya, Kaaya tahu apa ekspresi Yuuki saat ini. 

"Kau lupa janjiku, hm? Aku akan terus menunggu Ai sampai kapanpun."

***


Kana baru meninggalkan kediaman Okamoto pukul setengah dua belas malam karena Kaaya memaksanya tinggal untuk makan kue dulu dan acara makan kue itu semakin ramai karena Yuuki juga ikut, juga Nobuhiko yang tampaknya sudah membaik pun ikut-ikutan ribut. Begitu ia keluar dari rumah Nobuhiko, yang pertama kali dilihatnya adalah Miyu.

"Ah, ternyata kau juga disini, Kanacchi?" tanya Miyu sambil tersenyum. "Aku mau mengambil hasil tugas kelompok yang ada pada Kayano... aku sudah mengirimkan e-mail padanya tadi, tapi tampaknya dia sudah tidur, ya?"

"Lho, kenapa tidak masuk saja, Miyu-kun?" tanya Kana. "Kaaya masih bangun kok, sedang perang kue bersama Okamoto-kun. Mungkin itu alasan kenapa ia tidak melihat e-mailmu, hehe."

"Oh? Dia masih bangun? Dasar..." gerutu Miyu sambil menggaruk kepalanya. "Kau sendiri sedang apa disini, Kanacchi? Ikut perang kue juga?"

Kana tertawa pelan. "Iya, tadi. Okamoto-kun kan sedang sakit, jadi tadi aku menjaganya karena Kaaya kuliah. Aku dibelikan kue oleh Kaaya sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjaga Okamoto-kun--dan akhirnya malah mereka yang rebutan kue, hehehe."

Miyu mengangguk-angguk, setelah itu ditatapnya wajah Kana lekat-lekat.

"Kau tidak berubah ya, Kanacchi."

"Eh?"

"Rasa sayangmu terhadap Okamoto... tidak berubah," jawab Miyu, membuat pipi Kana merona merah. "Dan sialnya rasa sayangku padamu juga tidak pernah mau berubah."

***

to be continued

***

Your Reply