[fic] Tsugi no Kakurenbou wa, Zettai ni Kimi wo Mitsukeru yo! ; ch 08


.

a/n: *mengesot dari lubang kubur*


summary: Ketika semuanya berubah--ketika memori yang mengikat batin mereka menghilang karena kecerobohan dalam suatu permainan petak umpet--apa yang akan terjadi pada dua insan yang sejatinya saling membutuhkan dan menyayangi, di masa depan nanti?

rate, genre: T, romance-drama-daily life

warning: AU, OOC.

disclaimer: I don't own anything, just the plot. No profit gained, just for fun. Believe me.

Chapter 08 - Ichiban no Takaramono [My Most Precious Treasure] - click here to begin


"Aku tidak mau pergi,"

Gadis kecil berambut pendek itu memeluk tas berbentuk kepala pandanya erat-erat, matanya yang bulat dan besar tampak berkaca-kaca. Kedua kakinya terpaku di ambang pintu, raut wajahnya penuh ragu--pantulan bias sinar matahari yang terpantul di matanya memberikan isyarat tersendiri kalau ia tidak ingin pergi. Ibu dari gadis kecil itu menghela napas panjang, lalu berjongkok di depan putrinya, mengelus rambut putrinya yang halus--diduga berkat sampo dengan ekstrak seledri--dan berusaha memberikan pengertian padanya.

"Kana..." gumam sang ibu, lembut. "Kau tahu, sekolahmu di kota akan lebih bagus daripada sekolahmu di sini. Kau akan punya banyak teman, di sana banyak taman bermain, dan ada tempat les piano yang sangat bagus juga. Kana pasti akan sangat betah di kota..."

Yang didapatkan sang ibu sebagai jawaban hanyalah sebuah gelengan. "Tidak mau. Aku mau disini. Aku sudah betah disini, aku tak mau kemana-mana lagi..."

"Kana..."

"Ah, Riko-chan, bagaimana kalau Ibu saja yang bicara pada Kana, hm?" sesosok wanita tua yang masih tampak segar dan sehat menghampiri pasangan ibu dan anak itu dan menepuk pundak mungil Kana kecil dengan lembut. Mengangguk pengertian, ibu muda itu meninggalkan putrinya untuk bicara berdua dengan neneknya.

"Kana. Sini, lihat mata Nenek."

Dengan sedikit terisak, Kana menyingkirkan tas panda yang menutupi wajahnya untuk menatap mata neneknya yang selalu memancarkan cahaya lembut penuh kasih sayang. Neneknya tengah berjongkok di depannya, menggenggam pundaknya erat dan hangat.

"Aku tidak mau pergi, Nenek... aku mau tetap di sini..." isak Kana pelan. "Aku betah di sini, aku tak mau kemana-mana lagi..."

"Iya, Nenek tahu perasaanmu, Kana," dengan gerakan nan lembut tangan sang nenek berpindah ke pipi kiri Kana yang memerah karena menahan tangis. "Nenek tahu apa yang terjadi. Nenek tahu kalau Kana tidak mau berpisah dengan teman-teman Kana, terutama Nobuhiko-kun, kan? Bagi Kana, dia adalah teman yang paaaaaaaaaling berharga bagi Kana, kan?"

Kana terdiam, memberikan anggukan kecil yang membuat neneknya tersenyum lembut.

"Aku tidak mau berpisah dengan Nobu-kun..." gumam Kana tersendat isakan, namun tak mengurangi kejelasan pelafalan kalimatnya. "Aku masih ingin bermain dengannya, membuat dia mengingatku lagi... ingatannya hilang--itu salahku, Nek, itu salahku..."

Jari telunjuk sang nenek mengusap bulir kristal yang menggantung di sudut mata cucunya yang tengah berselimut kebimbangan itu, senyum sabar terlukis di wajah tuanya.

"Berjanjilah satu hal pada Nenek, Kana."

"...satu hal?"

"Kau akan kembali untuk Nobuhiko-kun," tutur sang nenek, menatap mata cucunya untuk menularkan kesungguhan yang ia pancarkan dari iris cokelatnya yang hangat. "Kalau Nobuhiko-kun benar-benar orang yang berarti untuk Kana, Kana harus kembali untuknya. Meskipun sekarang Kana harus pergi, suatu hari nanti Kana akan menemukan diri Kana kembali pada Nobuhiko-kun, jika benar Nobuhiko-kun adalah orang yang penting bagi Kana. Tidak ada salahnya pergi sebentar demi kebaikan dirimu sendiri, Kana--makanya, Nenek ingin Kana berjanji. Karena janji itu akan mengikat Kana dengan tempat ini."

Kana termenung sejenak, mata cokelatnya membulat melihat sang nenek yang mengacungkan jari kelingkingnya pada Kana, meminta cucunya saling mengaitkan jari kelingking dengannya.

"Janji?"

"Un," Kana mengacungkan jari kelingkingnya dan mengaitkannya dengan milik sang nenek. "Janji!"

***

Nek, aku menepati janjiku. Aku kembali. Sayangnya aku membiarkan dia pergi lagi.

***
"Masih belum ada kabar darinya, Kaaya?"

Kaaya hanya mengangguk pasrah mendengar pertanyaan dari Kana barusan, dan membuat tumpukan rasa bersalah Kana semakin meninggi melihat gurat kepasrahan dari mata seorang Kayano Ai. Letih, gemas, pasrah, dan marah semua ada dalam matanya, namun jelas sekali bukan ditujukan kepada Kana. Segala perasaan itu ditunjukkan pada Nobuhiko--yang sudah dua hari ini menghilang tanpa jejak sejak kejadian di ruang piano Kana saat itu. Kana menghela napas. Diremasnya jari-jemari tangan kirinya dengan tangan kanan, segala kesungkanan seketika merebak ketika gadis itu melihat Kaaya yang tampak putus asa, menghubungi kembali nomor ponsel Nobuhiko untuk ratusan kalinya sejak pemuda itu menghilang. Ia tahu, sesabar apapun Kaaya dalam menghadapi ulah sepupunya itu, tetap saja gadis lembut itu punya batasnya tersendiri. Dan Kana adalah penyebab Nobuhiko berulah pada kejadian kali ini--ia layak mendapatkan segala kemarahan Kaaya juga.

Kaaya sangat kuat--dan Kana iri terhadap ketegarannya. Gadis itu menjadi tempat bergantung Nobuhiko selama bertahun-tahun, menjadi satu-satunya orang yang ia percaya, dan selalu tampak ceria meski memikul tanggung jawab yang begitu berat. Level Kaaya jauh di atas Kana--level yang mungkin tak akan pernah bisa Kana raih.

Kalau diingat-ingat, selama ini Kana tak pernah melihat Kaaya menangis.

"Kaaya..."

"Hm?"

"Maafkan aku..."

"Kenapa kau minta maaf padaku?" tanya Kaaya dengan nada jenaka yang lantas membuat Kana semakin terluka. "Aku tak ingat kau punya salah apa-apa padaku."

"Gara-gara aku...." gumam Kana lemah. "Gara-gara aku dia pergi..."

Kaaya tersenyum, menghampiri Kana yang terduduk diam di tempatnya, lalu merangkul bahu sahabat masa kecilnya itu dengan hangat. "Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri Kanacchi, kau sudah terlalu dalam mengubur dirimu dalam rasa bersalah itu. Tidak ada salahnya kau menyalahkan Nobuhiko untuk kali ini saja--karena memang ini salahnya, kan? Ayolah, bersemangat sedikit, Kanacchi..."

"Tapi--"

Suara pintu depan yang dibuka memutus kalimat Kana, dan sosok yang dilihatnya menghambur dari balik pintu itu adalah Yuuki dengan raut wajah lelah dan penuh kecemasan, membuat Kaaya bangkit dari duduknya.

"Yuu-kun..."

"Aku sudah menghubungi kantor polisi barusan," pemuda berpipi chubby itu mendekati Kaaya yang kini berdiri di depan sofa yang diduduki Kana. "Sekarang lebih baik kita serahkan semuanya pada polisi. Sudahlah, jangan terlalu khawatir. Dia bukan anak kecil lagi, dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri..."

Kaaya terdiam, kepalanya tertunduk. Yuuki yang berdiri tepat di depannya menghela napas, diangkatnya tangan untuk meraba pucuk kepala Kaaya, namun gerakannya berhenti ketika tiba-tiba gadis itu menubruk dadanya kemudian mulai terisak di sana. Kana terdiam, sedikit terkejut karena Kaaya tiba-tiba menangis--padahal belum sampai lima menit yang lalu Kaaya tersenyum padanya.

"Yuu-kun..." suara getir Kaaya terdengar dari sela-sela isakannya. Yuuki terdiam sejenak, lalu akhirnya melingkarkan lengannya di bahu Kaaya, usaha terbaiknya untuk bisa menenangkan gadis itu. Ia tahu, Kaaya pasti sudah menahan emosi ini untuk sekian lama. Mendedikasikan diri sebagai ibu, kakak, adik, sekaligus sahabat bagi sepupunya yang hidup sendirian dan menderita karena kesepian, membuatnya harus mengabaikan hal-hal yang sebetulnya sangat penting dan berharga baginya.

"Sudahlah, Ai, tak apa-apa kok..." gumam Yuuki lembut. "Tidak apa-apa--menangislah kalau kau menginginkannya, tapi percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Ai percaya padaku kan? Hm?"

"Yuu-kun... hiks... hiks..."

Dan Kana hanya bisa duduk terdiam di tempatnya, dengan hati semakin teriris mendengar suara isakan Kaaya yang terdengar miris.

***

"Kana!"

Orang yang pertama kalinya begitu keluar dari kediaman Okamoto adalah Ayana--diikuti Miyu di belakangnya. Dua orang itu bergegas menghampiri Kana dengan raut wajah khawatir, namun meskipun begitu Kana masih bisa mendeteksi kelelahan di wajah mereka muncul dari balik kekhawatiran mereka. Bagaimanapun juga, Miyu dan Ayana juga berusaha mencari Nobuhiko sebisa mungkin.

"Maaf.... kami belum bisa menemukannya..." gumam Miyu penuh sesal. "Kalau saja Ayabou tidak menghabislkan waktunya untuk bermain-main..."

"Aku tidak bermain-main!' gerutu Ayana sambil menendang tulang kering Miyu. "Aku hanya sedikit... terdistraksi? Ya Kana, kau tahu aku anak rumahan--"

"Itu namanya main-main, Ayana."

"Tuh kan! Bahkan Kanacchi membelaku untuk ini, Ayabou~"

"Berisik!" seru Ayana semakin kesal. "Menurutku, lebih baik kita makan siang dulu, Kana. Kau nyaris tidak makan apa-apa sejak dia menghilang. Aku yang traktir deh, oke? Mau makan apa? Aku yang bayar, tenang saja."

Kana menggeleng. "Aku tidak lapar..." dan disambut cubitan keras Ayana di lengannya.

"Kau harus makan!" gerutu Ayana. "Jangan siksa dirimu sendiri seperti ini, Kanacchi. Bagaimanapun juga, kau butuh makan. Ya? Oke? Kalau kau tidak makan, kau tidak punya energi untuk mencari dia..."

"Ayabou benar, Kanacchi," gumam Miyu pelan. "Dari tadi aku kepikiran--aku, Ayabou dan Yuuki tidak bisa  menemukan dia... padahal aku yakin dia tidak akan kemana-mana jauh dari sini. Dia itu anak yang nyaris tak pernah kemana-mana selain ke kampus dan sekolah, jadi aku pikir dia masih di sekitar sini. Tapi kenapa kita tidak bisa menemukannya--mungkin harus kau yang menemukan dia, Kanacchi."

"Eh?" manik cokelat Kana membulat. "...aku?"

"Atau boleh kubilang--hanya kau yang bisa menemukan dia."

***

"Tsugi no kakurenbou wa, zettai ni kimi wo mitsukeru yo!"

***
 Dinginnya angin awal musim dingin membuat sosok itu merapatkan syal yang melingkari lehernya. Tatapan matanya kosong. Kakinya mantap menjejak bumi yang dipenuhi guguran daun kering, seolah tak akan kemana-mana lagi. Diam. Bergeming. Tanpa takut serangan beku. Dipenuhi determinasi, keyakinan, dan sejuta rasa percaya.

Dia kembali.

Apakah benar untukku?

...dan kalau memang benar untukku, alangkah baiknya kalau aku juga turut kembali, bukan?


***

We shall return to the start point.

***

to be continued

***

a/n: chapter berikutnya chapter terakhir. /weep

Your Reply