[fic] Tsugi no Kakurenbou wa, Zettai ni Kimi wo Mitsukeru yo! ; ch 02


.

a/n: chapter 02, doozo!


summary: Ketika semuanya berubah--ketika memori yang mengikat batin mereka menghilang karena kecerobohan dalam suatu permainan petak umpet--apa yang akan terjadi pada dua insan yang sejatinya saling membutuhkan dan menyayangi, di masa depan nanti?

rate, genre: T, romance-drama-daily life

warning: AU, OOC.

disclaimer: I don't own anything, just the plot. No profit gained, just for fun. Believe me.

Chapter 02 - Restart - click here to begin
"Kanacchi payah! Dari tadi kalah melulu, huu..."

"Aku sengaja mengalah kok, bweeeeek!"

"Huuu~ bilang saja kalau kau tidak bisa menang dariku, Kanacchi~ Kanacchi paaaa~yaaaah...."

"Lihat saja ya, babak berikutnya aku pasti menang! Aku pasti menemukanmu dalam permainan petak umpet kita berikutnya, aku jamin itu!"

***

Suara dering dari jam weker berbentuk kepala kelinci kartun yang disimpan tepat di samping kepala Kana membuat gadis itu menggeliat pelan, mengembalikan kesadarannya pelan-pelan sebelum mulai membuka mata. Cahaya mentari pagi yang hangat masuk ke kamar mungilnya, menembus tirai putih bersih yang ia pasang di jendela--menggantikan tirai sebelumnya yang sudah usang dan berdebu. Kana kembali menggeliat, kemudian duduk dan menggembungkan pipinya. Pemandangan yang cukup menggemaskan--Kana yang baru bangun menggembungkan pipi dengan rambut berantakan, cukup untuk membuat Ayana sibuk mencubitinya apabila gadis itu ada di sini.

...ah. Kana baru ingat. Ayana.

Kana belum mengontak sahabatnya itu sejak ia sampai ke desa tempatnya tumbuh besar ini, bahkan satu e-mail singkat yang mengabarkan bahwa ia baik-baik saja pun belum sempat ia kirim. Gadis berambut sebahu itu meringis, membayangkan omelan Ayana yang akan didengarnya saat ia meneleponnya nanti. Diambilnya ponsel dan mulai diteleponnya Ayana, sambil menyiapkan mentalnya akan omelan panjang lebar yang mungkin akan dilontarkan gadis itu.

"Halo, Aya--"

"ADA APA SIH PAGI-PAGI BEGINI MENELEPON?" sungguh jenis omelan yang di luar ekspektasi Kana--Kana mengira reaksi pertama yang akan diterimanya dari Ayana adalah kalimat berisi protes dan pertanyaan kenapa Kana baru meneleponnya. "Kau mengganggu mimpi indahku, Kanaaaa! Baru saja aku mimpi dijemput pangeran berkuda putih--"

"Mimpi macam apa itu?" Kana tergelak. Dasar Ayana. Ketertarikan gadis Taketatsu itu pada hal-hal yang berbau putri-putri raja memang kadang membuat Kana gemas. "Kenapa tidak sekalian pangeran bermobil Lamborghini?"

"Hih! Kau tahu Kana, kau tidak romantis--"

"Aku sudah tahu lho, sudah ribuan kali kau bilang aku tidak romantis, padahal aku kan hanya realistis."

"Huh, terserah deh!" gerutu Ayana. "Padahal kupikir kau akan tambah romantis ketika bertemu dengan pangeran pelukis tampan nun jauh di desa sana--"

"Taketatsu Ayana, aku tak mau ribut denganmu oke, jadi kuharap kau tak mengungkit-ungkit hal ini lagi--"

"Ups," gumam Ayana pura-pura menyesal. "Ma~af. Jadi kupikir, kau sudah bertemu dengannya hm? Sang pangeran amnesia yang tak bisa kaulupakan itu?"

"Ayana..." dalam hati Kana mengutuki kefrontalan Ayana yang sering tak kenal kondisi--Kana tak mengharapkan Ayana berkata sefrontal ini ketika jarak rumah orang yang dibicarakan hanya beberapa meter dari rumahnya dan ia baru saja bermimpi tentang kejadian kelamnya tujuh belas tahun yang lalu. "Oke--aku sudah bertemu dengannya. Dan dia... masih sama seperti sebelumnya. Jangan tanya aku apa-apa lagi tentang orang itu, oke?"

"Dia masih belum mengingatmu, Kana?"

Kana terdiam sejenak untuk menghela napas, lalu menjawab, "Begitulah. Dia balas menyapaku kemarin--kupikir dia tahu soal aku dari Kaaya--"

"Sebentar, Kaaya siapa?"

"Sepupunya, temanku juga."

"Oke, lanjutkan."

"Kurasa tak ada yang perlu kuceritakan lagi, hm?" Kana kembali menghempaskan punggungnya ke kasur. "Dia hanya tahu kalau aku Hanazawa Kana, teman sepermainannya selagi kecil, tetangganya yang pindah ke kota tujuh belas tahun yang lalu, yang suka main piano, dan sekarang kembali untuk menghuni rumah peninggalan neneknya. Puas?"

"Kenapa kau judes begitu sih?" Ayana tiba-tiba saja menggerutu. "Dengar ya, Kana. Kalau kau bilang 'jangan ungkit-ungkit masalah ini lagi' berarti kau sudah menghindari dia secara tidak langsung! Aku tahu apa yang kau mau--kau masih menginginkan dia. Kau masih membutuhkan dia. Aku tahu itu!"

"Tapi dia tidak ingat aku--"

"Lalu kenapa kau tidak buat memori baru tentangmu dan tentangnya?" tukas Ayana tidak sabar. "Kau bisa memulai lagi dari awal. Yang lalu biarlah berlalu. Lebih baik kau jadikan kesempatan kali ini sebagai titik awal untuk memulai kembali memori kalian bersama-sama. Ada kemungkinan ia akan jatuh cinta padamu lho, Kana. Bagaimana?"

Kana terdiam, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja dilontarkan sahabatnya itu padanya. 

"Kana?"

Sepertinya Kana harus ingat untuk menambahkan keterangan kalau romantis bukan berarti tidak realistis di kamus hidupnya.

"Aku tak menyangka kau bisa bicara seperti itu, Ayana..."

"Jahat kau," Kana berani bertaruh Ayana tengah cemberut di seberang sana. "Aku kan hanya ingin sahabatku yang paling imut sedunia ini bisa bahagia dengan orang yang disukainya~ dan oh ya, biaya konsultasinya lima ribu yen. Atau satu CD single Arashi yang baru, deh--"

"Cih! Kupikir kau sahabatku!"

"Aaaa~ Kanaaaa, satu CD saja ya? Tidak usah yang limited edition, deh... eh, tapi yang limited edition itu kan biasanya bonusnya bagus-bagus~"

"Dadah, Ayana. Semoga harimu menyenangkan!"

"Kanaaa! Aku cuma bercanda, sumpaaaaah!"

***

Aku teringat hari itu, tujuh belas tahun yang lalu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa--kejadiannya begitu cepat, aku pun tak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Yang kuinginkan hanyalah bermain petak umpet dengannya, sebagai permintaan maafku usai kejadian-kejadian di sekolah sebelumnya. Ia tampak senang sekali, dan begitu pula aku. Aku senang bisa bermain hanya berdua bersamanya. Dia sahabatku yang paling aku sayangi. Mungkin di sekolah saat itu aku memang keterlaluan, namun aku berusaha sebisa mungkin untuk meminta maaf padanya.

Yang aku ingin untuk kulihat hanya senyumnya...

Tapi kenapa saat itu Tuhan memberiku sesuatu yang berbeda?

Aku tak mau mengingatnya--tidak mau, tidak mau, tapi kenapa otakku masih jelas memproyeksikan bayangan aliran likuid merah yang mengalir meninggalkan tubuhnya bersama kesadaran dan... ingatannya?

***

"Kanacccchiiii~!"

Kana terperanjat begitu ia disambut dengan pelukan hangat dari Kaaya yang tampak girang sekali melihat Kana di depan pintu rumahnya. Hangatnya pelukan Kaaya membuat Kana merasa bersalah mengapa ia tidak mengunjungi rumah sebelah kemarin alih-alih mengurung diri semi-menghindari Nobuhiko usai menyapanya dari balik jendela sambil beres-beres rumah. Bagaimanapun juga, mereka dulu bertetangga--dan sampai sekarang pun tetap. 

"Kaaya, lama tidak berjumpa~" gumam Kana. "Jadi sekarang kau tinggal bersama No--Okamoto-kun?"

Kaaya terdiam, menggenggam tangan Kana erat sambil memandang gadis bermata bulat itu lurus-lurus. "Panggillah dia dengan nama yang selama ini kau gunakan, tidak usah jadi formal begitu. Ah, ya, sejak kami berdua masuk SMP aku tinggal di sini menjaganya. Orang tuaku masih di rumah yang dulu--di sana kan ada Aoi, jadi pasti tidak akan sepi, lagipula dari sini lebih dekat ke sekolah dan akses ke kota," seloroh Kaaya panjang lebar. "Kanacchi sendiri kenapa baru kemari? Padahal kemarin kau bertemu Nobu kan, kenapa tak datang menyapaku, hm?"
"Eeeh, aku keasyikan membersihkan rumah, hehehe..." itu satu-satunya alasan yang terpikirkan oleh Kana. "Kalian... jadi tinggal berdua saja?"

"Ah--hm..." Kana bisa merasakan aliran keringat dingin di telapak tangan Kaaya, dan seketika rasa bersalah kembali menyelimuti Kana. "Ada sedikit masalah, mungkin nanti aku ceritakan. Maaf ya--"

"A-aku yang seharusnya minta maaf! Aku tidak seharusnya menanyakan pertanyaan seperti itu..." Kana tertunduk, merasa sangat bersalah. "I-ini kubawakan kue. Dia masih suka Mont Blanc dan Snickers, kan?"

"Yay!" Kaaya terlonjak girang sambil menerima bungkusan dari Kana. "Kanacchi memang paling mengerti selera Nobu, ya! Sebentar, aku panggilkan di--"

Belum sempat Kaaya menyelesaikan kalimatnya, suara derap langkah buru-buru yang menuruni tangga tiba-tiba terdengar. Kaaya menggerutu, menggumamkan kalimat-kalimat yang bunyinya seperti 'aku sudah ingatkan dia berkali-kali untuk tidak berlari di tangga!' sementara Kana terlonjak kaget begitu Nobuhiko sampai di pintu depan dan langsung meneriakkan namanya.

"Hanazawa-san!"

"Eh?" Kana menunjuk hidungnya usai rasa kagetnya reda. "A-aku?"

"Bisa kau mainkan satu lagu di pianomu untukku?"

Kana ternganga. Begitu pula Kaaya. 

"...lagu?"

"Ya, aku--" Nobuhiko menunjukkan palet, kuas dan sketchbook yang dipegangnya. "--tahu dari Kaaya kalau kau bisa main piano. Aku ingin kau memainkan satu lagu yang jadi inspirasi lukisanku. Siapa tahu ideku semakin lancar kalau aku mendengarnya dari piano, bukan hanya dari CD."

"Eeeeh... tapi aku sudah lama tak berlatih..." Kana mengernyitkan dahi, dalam benaknya--yang bingung dan gugup namun juga bahagia--ia sibuk bertanya-tanya lagu apa yang dimaksud Nobuhiko, mengingat-ingat daftar musik klasik yang bisa dimainkannya, dan bertanya-tanya apakah ia mampu memainkan lagu itu untuk Nobuhiko. "Memangnya... lagu apa, Okamoto-kun?"

"Judulnya Hatsukoi no Oto. Hanazawa-san tahu?"

Lagu itu.


***

"Futari wa kaze no mama ni yurameite hohoemi ukabeta
Itai hodo ni mune ni hibiku kono kaze ga utaitsuzuketeta
Futari dake ga kikoeru kono koi no oto
Toki wo kasanete itsumade demo kanadete..."

***

to be continued

***

a/n: nulis chapter ini sambil diiringi lagu-lagu coldplay. hahasik

Your Reply