[fanfic] Incognito


.


a/n: crosspost aja terus iya teruuuuus. a Hey! Say! JUMP fanfic, btw.


warnings: OOC. AU. Mafia-themed. Dark , messy, and fast-paced plot. Sci-fi ga jelas. Useless crossdressing. Author ganteng. Don’t like then leave.

rate: PG-13 for dark plot, heavy theme, semi-gore, and mentions of suicide.

genre: Friendship/Angst with lil’bit of sci-fi

disclaimer: Don’t own anything except the plot. No profit gained. Just for fun.

~klik link di bawah untuk membaca~





[Sisilia, Italia –8 Mei 2012. 11.07 PM]

Ballroom hotel berbintang lima itu masih ramai oleh suara-suara musik dan percakapan-percakapan di dalam pesta yang tengah berlangsung di dalamnya. Troli-troli yang mengangkut makanan ringan dan gelas-gelas sampanye berseliweran, menawarkan pengganjal perut dan penghilang dahaga bagi para tamu yang tengah bersenang-senang. Wangi berbagai macam parfum bermerek memenuhi udara, menciptakan kombinasi wangi yang buruk jika kau adalah tipe orang yang tak suka dengan wangi yang menyengat, namun tampaknya hanya segelintir orang yang merasa terganggu dengan wangi itu.

Posso aiutarla, Signorina[1]?”

Beralih dari pusat keramaian, di sudut ballroom berdiri seorang gadis bergaun merah muda seperti permen kapas yang tengah dihampiri seorang waiter berseragam hitam yang senyumnya seolah tak pernah habis.

No, grazie[2].” Gadis itu menggeleng sopan sambil mengangkat telapak tangannya, direspon dengan
anggukan pelan dari sang waiter yang segera berlalu. Begitu ditinggalkan oleh sang waiter, mata elang sang gadis kembali menjelajah ruangan, mendeteksi setiap wajah pengunjung pesta yang seolah tiada habisnya ini. Karena ia tahu, tujuannya kemari bukan untuk bersenang-senang.
Kegiatannya memindai isi ruangan terhenti ketika manik cokelatnya tertumbuk pada sesosok pemuda.

Mitsuketa[3].”

.
I N C O G N I T O
~君 に 私家 見せられない 顔 が ある~
.

Suara derap dasar permukaan sempit heels yang beradu dengan lantai batu berdebu yang menjadi akses keluar masuk di sebuah daerah pinggiran Sisilia menggema di setiap belokan gang. Gadis itu—ya, gadis bergaun merah muda permen kapas yang barusan kita temui di ballroom, telah meninggalkan gemerlap pesta dan sebagai gantinya ia berlari-lari di gang tikus yang bau dan kotor di daerah pinggiran Sisilia—mengangkat roknya untuk memudahkan ia berlari, dan tampak jelas meskipun ia mengenakan sepatu berhak tinggi dan rok yang agak ribet, ia mampu berlari dengan baik. Karena tidak ada kata berhenti baginya—sekali ia menemukannya, ia tak bisa melepasnya.

Iya, dia.

Pemuda yang sekarang sedang mengacungkan moncong sebuah Tokalev ke arahnya—di jalan buntu yang dipenuhi bising decitan tikus dan gonggongan anjing.

“Jadi sekarang kau cantik ya…” ledeknya. “…Ryo—ah, ataukah harus kusebut codename 7865, Yamada Ryosuke?”

~~ I N C O G N I T O~~

[Tokyo, Jepang. 16 jam sebelumnya]

“Jadi memang harus aku yang pergi, Sachou[4]?”

Manik cokelat itu memindai sebuah punggung berlapis jas laboratorium putih yang tengah duduk menghadapi sebuah meja berisi tumpukan dokumen dan sebuah laptop yang menyala di tengah-tengah tumpukan dokumen. Sosok yang dipanggil Sachou itu hanya terdiam beberapa detik seusai pertanyaan itu terlontar dari bibir pemuda di belakangnya itu, dan ia akhirnya memutuskan untuk memutar kursi untuk menghadapinya.

“Aku tidak punya harapan lain selain kau, Yamada.”

Pemilik manik cokelat yang ditengarai bernama Yamada itu mendesah pelan, perlahan dipandangnya wajah sang Sachou yang terlihat sangat pucat. Wajahnya tirus, matanya cekung dan dihiasi lingkaran hitam, dan Yamada tahu tanpa harus membuktikan bahwa diameter jam tangan yang melilit pergelangan tangannya adalah diameter terkecil—bahkan tampaknya diameter terkecilpun masih kebesaran di tangan yang kurus itu. Yamada memandang sachou-nya prihatin, bagaimanapun juga ia berutang banyak, banyak sekali pada sosok di depannya itu. Tak ada alasan baginya untuk menolak permintaannya kali ini.

Terlebih kalau hal ini menyangkut hidup dan mati sang Sachou.

“Aku sudah menyiapkan satu tiket penerbangan ke Roma untuk enam belas jam lagi terhitung dari sekarang, sekaligus biaya akomodasimu disana,” tangan kurus itu menyodorkan selembar tiket sebuah maskapai penerbangan terkenal pada Yamada yang menerimanya sambil mengangguk. “Kau akan pergi ke sana dengan legal, untuk kali ini saja. Jangan khawatir, semuanya sudah aku urus. Yang pasti, aku hanya ingin microcomputer itu kembali ke tanganku dalam keadaan utuh, atau kau tahu apa yang akan dilakukan Oyassan[5] pada kepalaku.”

“Tentu saja, Sachou. Aku akan berusaha semampuku.”

Mata sang Sachou berkaca-kaca mendengar ucapan Yamada, dan dengan suara lirih ia berkata, “Kau tahu, aku tidak pernah menyesal bertemu denganmu dua belas tahun lalu…”

~~I N C O G N I T O~~

Tak mau kalah dengan pemuda bersurai cokelat yang tengah mengacungkan Tokalevnya, gadis—yang sekarang kita ketahui bahwa ia sama sekali bukan gadis, melainkan pemuda belasan tahun yang sedang menyamar sebagai gadis—bergaun merah muda itu menarik sesuatu dari salah satu lipit pada gaunnya, yang ternyata adalah tempat penyimpanan sebuah custom made handgun yang didesain untuk konfrontasi yang menuntut kecepatan dan fleksibilitas. Cibiran pahit muncul di wajah sang pemuda ber-Tokalev ketika moncong pemuda bergaun merah muda yang dipanggilnya Yamada Ryosuke itu mengarah ke arahnya.

“Apa itu sebuah pujian?” tanya Ryosuke. “Codename Rosethorn 34 Yaotome Hikaru?”

“Terserah kau saja, kalau kau menganggapnya pujian pun aku tak keberatan,” Yaotome menyunggingkan sebuah seringai jahil di wajahnya. “Kau sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik eh? Bisa beritahu apa yang orang-orang di kelompokmu lakukan padamu setiap hari?”

“Tutup mulutmu atau akan kubungkam dengan ini,” Yamada mengokang pistolnya. “Pistol ini memiliki spesifikasi lebih unggul dibanding Tokalevmu dan bisa sangat mematikan.”

“Oh, aku takut!” seru Yaotome dengan nada meledek, membuat Yamada gemas ingin menarik pelatuk pistolnya sekarang juga. “Jadi apa yang kauinginkan dariku, eh?”

“Kurasa kau tahu jawabannya, tanpa harus bertanya, hm?” Yamada menautkan alisnya. “Kembalikan micro-computer hasil penelitian Takaki-sachou. Sekarang, atau nyawamu melayang.”

~~I N C O G N I T O~~

 The AMDHAS—The Advanced Microcomputer to Develop Human’s Ability and Specifications.

Sebuah proyek prioritas utama kelompok mafia pimpinan Inoo Kei sang Oyassan. Kelompok mafia yang namanya masih rahasia dan kerapkali dianggap sebagai isu belaka ini memiliki worldwide affiliations network yang menjangkau nyaris setiap negara-negara besar di dunia, sehingga bisa dikatakan kelompok mafia ini adalah kelompok yang sangat kuat dalam hal network atau relasi. Latar pendidikan anggotanya yang cukup tinggi juga mendasari terbentuknya divisi riset ilmiah dalam jaringan ini. Ketika sepuluh tahun lalu Takaki Yuya, sang pimpinan divisi, menyodorkan proposal penelitian untuk mengembangkan The AMDHAS, proyek ini langsung ditempatkan dalam prioritas utama. Inoo betul-betul mengharapkan keberhasilan proyek ini—ia begitu ingin memilikinya, microcomputer yang bisa membangkitkan kekuatan terpendam dalam otak manusia yang dalam kesehariannya hanya digunakan kurang dari 10% dari kemampuan sebenarnya.

Namun dua hari lalu, microcomputer AMDHAS yang sedang menjalani proses finishing di laboratorium rahasia di Italia, hilang dicuri orang dan setelah diadakan penyelidikan, ternyata kelompok mafia lainlah yang mencuri microcomputer itu. Kelompok mafia Jepang yang punya relasi sangat kuat dengan dominasi kelompok mafia di Italia—kelompok pimpinan keluarga Yaotome.

Kelompok yang nantinya akan diwarisi oleh sahabat lama Yamada Ryosuke—Yaotome Hikaru.

Atau haruskah Yamada bilang, mantan sahabat?

~ I N C O G N I T O ~

[Tokyo, Jepang. 9 Mei 2000]

Yamada kecil berdiri di tepi sungai yang hari itu tengah berarus kencang, gemuruh suara air yang menerpa substansi padat di sekitarnya menggema dalam lubang telinga anak lelaki yang wajahnya kotor oleh likuid merah beraroma besi—darah. Tatapannya kosong. Bibirnya bergerak naik-turun, menggumamkan dua kata “Okaa-san, Otou-san…”

Seharusnya hari ini adalah hari bahagianya. Hari ini usianya tepat tujuh tahun, namun pemandangan yang baru beberapa jam lalu ia saksikan mengubah hari ini sampai ke titik seratus delapan puluh derajat dari standar “hari baik” yang dimiliki anak-anak seusianya. Bau besi bercampur amis dimana-mana. Dikelilingi merah. Darah. Ia tak bisa melupakan wajah ibunya yang membelalak ketakutan ketika belati dihunus, dan wajah ayahnya yang memelas memohon untuk hidupnya, namun sia-sia. Yamada masih ingat ketika dua sosok yang sangat dicintainya itu berubah menjadi raga tak bernyawa dengan tusukan belati dan letusan peluru. Ia beruntung bahwa ia bisa meloloskan diri dari pembantaian itu, namun tetap saja ia harus kehilangan orangtuanya.

Ditatapnya sungai berarus deras dan seketika muncul pikiran untuk menyatukan diri dalam arus sungai itu, terhempas bebatuan, kesakitan dan tenggelam—mati. Menyusul orangtuanya. Hei… benar juga, dia kini yatim piatu, lebih baik kalau dia menyusul orangtuanya disana kan…

Benar juga, itu lebih baik…

Ujung sepatunya sudah menyentuh permukaan air ketika suara yang sangat dikenalnya memanggil namanya dengan nada panik.

“Ryosuke! Ryosuke, kembali kemari! Di situ berbahaya!”

Tanpa perlu berbalik Ryosuke tahu siapa yang barusan memanggilnya. Sahabatnya, Yaotome Hikaru yang berusia terpaut tiga tahun lebih tua darinya, namun sangat akrab dengannya. Yamada tidak bergeming, ia tetap bertahan pada posisinya.

“Menjauh, Hikaru! Kalau kau mendekatiku, aku akan lompat ke sungai ini—“

“Ryosuke!” Yaotome tak mendengar, ia berjalan mendekat ke arah Yamada.

“Mundur! Menjauh! Aku—AAAH!”

“RYOSUKE!”

Bicara dengan Yaotome barusan membuat Yamada tidak memperhatikan langkahnya. Ujung kakinya terantuk kerikil padat yang tersebar di sekitar bibir sungai sehingga tubuhnya limbung. Yaotome menjerit keras, hampir saja sahabatnya itu jatuh dan hanyut dalam arus sungai itu jika seorang pemuda berkemeja putih tidak datang dengan cepat dan menyelamatkan Yamada. Yaotome mundur beberapa langkah, kaget dengan pemandangan yang dilihatnya itu. Pemuda berkemeja putih itu membawa tubuh Yamada yang basah dan gemetaran mendekat ke arah Yaotome yang masih terpaku di tempatnya.

“Temanmu?” tanya pemuda berkemeja putih itu.

Yaotome tersentak. “I—iya..”

“Apa yang terjadi dengannya?”

Dengan sedikit gugup, Yaotome menceritakan apa yang ia lihat di rumah Yamada yang berjarak tiga rumah darinya. Tentang pintu depan yang tak biasanya terbuka, mayat orangtua Yamada yang ia lihat tergeletak di ruang tamunya, dan Yamada yang berjongkok gemetaran di balik pintu kamarnya—ya, Yamada bersembunyi di pintu kamarnya ketika orangtuanya dibunuh sehingga ia tak menjadi sasaran mereka—dan langsung berlari ketika Yaotome menemuinya. Pemuda berkemeja putih itu mengangguk pelan sambil menampilkan ekspresi simpati, lalu menggendong Yamada di punggungnya.

“Kau jangan khawatir. Aku yang akan mengurusnya sekarang,” pemuda berkemeja putih itu mengacuhkan ekspresi terkejut Yaotome. “Aku bukan orang jahat,percayalah. Aku tidak akan membahayakannya. Kau bisa hubungi aku untuk memastikan—namaku Takaki.”

~ I N C O G N I T O ~

“Sayang sekali, aku tak bisa menyerahkan microcomputer itu begitu saja,” Yaotome menurunkan Tokalevnya, memasang sebuah ekspresi menantang. “Aku sudah menanamkan microcomputer itu di otakku. Jadi kalau kau mau mengambilnya, bunuh aku.”

Yamada terdiam. Tubuhnya seolah membeku mendengar pernyataan Yaotome barusan. Dipindainya mata Yaotome untuk menemukan indikasi kebohongan, namun nihil. Ia jujur. Tidak main-main. Yamada meneguk salivanya dalam diam. Ia bisa menarik pelatuk pistolnya kapan saja.

“Ayo, bunuh saja aku.”

…dan Yamada membenci dirinya karena ia tak bisa membunuh orang yang seharusnya paling ingin ia bunuh.

~ I N C O G N I T O ~

[“You look like my deceased brother…”]

“Takaki-san merawatmu dengan baik kan, Ryosuke?”

Yamada terkikik geli melihat ekspresi khawatir Yaotome yang ditujukan untuknya. Setelah menelan potongan biskuit yang ada di dalam mulutnya, Yamada menjawab pertanyaan Yaotome barusan.

“Tentu saja. Dia betul-betul orang baik, kok.”

“Yakin?” tanya Yaotome sambil memicingkan mata. Hari itu mereka tengah bermain bersama di taman kota tempat mereka biasa bermain, sambil memakan cemilan yang dibekalkan Takaki untuk Yamada. Setelah Takaki mengasuh Yamada, Yaotome masih sering mendatangi kediaman pemuda berwajah stoic itu untuk mengecek keadaan sang sahabat.

“Seratus persen!” seru Yamada. “Takaki-san baik sekali kok, sungguh. Dia bilang, aku mirip adik laki-lakinya yang meninggal setahun lalu. Sama seperti aku, keluarganya juga meninggal dalam sebuah pembantaian misterius…”

[“And now I learn the truths behind everything…”]

Yaotome Hikaru, 13 tahun.

Tak ada yang lebih mengejutkan daripada kenyataan bahwa keluarganyalah yang bertanggungjawab dalam pembantaian keluarga Yamada—dan Takaki. Keluarga yang ternyata pendiri sebuah organisasi mafia yang memiliki relasi dengan berbagai organisasi mafia di Italia. Ia masih belum mengerti apa skandal yang menyebabkan dua keluarga itu harus berakhir tragis di tangan keluarganya, namun yang ia tahu—suatu saat nanti ia akan menjadi pemanggul dosa keluarganya sebagai anak tunggal keluarga Yaotome.

“Sialan… bagaimana ini…”

Dokumen rahasia yang ada di tangannya meluncur jatuh ke lantai bersamaan dengan munculnya keputusan untuk menjauhi Yamada selamanya. Ia tahu cepat atau lambat Yamada akan mengetahui hal ini—karena ia bersama Takaki.

~ I N C O G N I T O ~

[“So who should I choose then? My trusted lifesaver or my beloved best friend?”]

“Masih belum bisa memilih? Aku tahu Yamada, Takaki-san adalah orang yang sangat penting bagimu, bukan begitu?”

“Ch, aku tahu kau tahu hal itu,” masih dengan pistol teracung mantap, Yamada mendecih. Setengah mencibir pada dirinya sendiri yang tak kunjung mampu menarik pelatuk pistolnya. Ia tak bisa menyangkal bahwa ia tak sanggup membunuhnya—sudah terlalu banyak kenangan manis yang pemuda itu berikan padanya, bahkan Takaki sekalipun tak bisa menggantikan posisi sang sahabat di hatinya. Bahkan kalau boleh jujur—Yamada tak pernah mau kehilangan sahabat sehebat Yaotome.

“Yamada Ryosuke…”

Tapi dia yang sekarang adalah musuhnya.

“…kalau kau mau melakukannya, lakukan sekarang. Atau aku yang membunuhmu—“

DOR!

…tunggu! Yaotome begitu ingin Yamada membunuhnya, ini pasti ada apa-apa.

Terlambat. Suara letusan peluru bersamaan dengan suara jam besar yang berdentang dua belas kali menandakan pergantian hari sudah terdengar dan peluru itu tepat menembus jantung Yaotome. Tubuh itu limbung dan jatuh dengan bunyi gedebuk yang teredam suara jam, lalu sebuah tube transparan keluar dan menggelinding dari saku jasnya.

Tube berisi AMDHAS Chip. Yamada tersentak.

Dou iu imi…[6]?”

Yamada melangkah pelan menuju tempat tube itu tergeletak. Pikiran-pikiran dan spekulasi bermunculan dalam benaknya—Yaotome berbohong. AMDHAS Chip tidak ada di dalam tubuhnya. Dipungutnya tube itu perlahan dan dalam sekali lihat ia tahu itu barang asli. Di dalam kebingungannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Yamada meraih ponsel yang ada dalam saku rahasia  bajunya, membuka flipnya—ada mail yang masuk.

[“’Otanjoubi omedettou’ tte iitakatta…[7]]

~ I N C O G N I T O ~

From: hikaru_egao@xx.co.jp; May 09, 2012 00:03 AM

Subject: Buon Compleanno[8]!

Hai, Ryosuke. Ini Hikaru. Sudah lama sekali kita tidak bertemu ya. Ah—mungkin saat kau membaca ini, aku sudah mati. Terima kasih pada teknologi yang menciptakan fitur automatic sending ini!
Sudah berapa kali ya aku memberi kado saat ulangtahunmu? Lima… sepuluh? Ah, aku tak ingat. Tapi sudah lama sekali aku tidak memberimu kado sejak ulang tahunmu yang ke-10. Sekarang kau sembilan belas, wah, nyaris satu dekade. Tapi sumpah, aku selalu ingat kok hari ulangtahunmu. Makanya, di hari ulangtahunmu yang sekarang ini aku ingin memberimu hadiah. Hadiah terakhir yang paling istimewa—kematianku. Untuk membalas dendam orangtuamu.

Aku pantas menerimanya, jadi jangan bilang kau menyesal, atau aku akan menghantuimu dari neraka. Aku yang sekarang menanggung dosa keluargaku sebagai pembunuh keluargamu dan keluarga Takaki-san—kau pasti sudah tahu kan, makanya kau masuk kelompok Inoo yang berarti jadi musuhku—jadi aku pantas mati di tanganmu.

Omong-omong, AMDHAS Chip kucuri untuk kuselesaikan, lho. Aku meminta divisi sainsku untuk menyempurnakan chip itu, ini untuk Takaki-san juga. Semoga membantu, dan ini sudah kukembalikan, ya. Chip ini memegang peranan penting untuk kehidupan manusia—dan juga dalam rencanaku. Aku mencuri chip ini dari laboratorium kelompokmu dan rencanaku, kau muncul di pesta keluargaku untuk mengambil chip ini dariku. Bagaimana? Apakah rencanaku berhasil? Hehe ^^

Maafkan aku, Ryosuke. Aku baru berani mengambil keputusan ini sekarang. Sudah lama aku memikirkan bagaimana cara untuk menebus dosa keluargaku terhadap keluargamu—dan tokorode[9], aku masih belum mengerti kenapa keluargamu bisa dibunuh begitu, sumpah—dan inilah cara yang kutemukan. Maafkan aku yang pengecut baru bisa melakukannya sekarang.

Maaf.

Dan selamat ulang tahun, Ryosuke. May God give you blessed and happy life.

Hikaru.

~ I N C O G N I T O~

[Tokyo, Jepang. 9 Mei 2015]

Sebuah buket bunga krisan diletakkan Yamada di depan sebuah batu nisan pualam berukirkan nama sang sahabat yang selalu terpatri dalam hatinya. Ditundukkannya kepala dan dikatupkannya kedua tangan di depan wajahnya, berdoa setulus hati untuk sahabatnya yang sudah pergi. Sahabat yang menawarkan nyawanya sendiri untuk menebus kesalahan pendahulunya.

Tanpa terasa, setitik kristal air meluncur pelan di pipi pemuda dua puluh dua tahun itu—usia yang sama dengan usia Yaotome saat kematiannya. Dikenangnya kembali semua memori yang telah diberikan pemuda itu dalam kehidupannya, baik manis maupun pahit, diresapinya dalam-dalam. Karena ia tak mungkin bisa merasakan hal-hal seperti itu lagi bersama Yaotome.

“…Semoga kau selalu baik-baik saja, Hikaru…” gumam Yamada usai berdoa.

Lembar baru dalam kehidupan Yamada dimulai. Ia telah meninggalkan kelompok mafianya bersama Takaki dan memulai penelitian untuk pengembangan AMDHAS Chip untuk kemaslahatan umat manusia. Ia tak mau terjadi lagi tragedi seperti yang pernah dialaminya. Sudah cukup. Api dendam yang membara berakhir membakar dirinya sendiri dengan penyesalan. Dibiarkannya motif pembunuhan orangtuanya menjadi misteri yang tak ingin ia gali. Bagaimanapun juga ia sudah menjadi orang yang baru, bukan Yamada Ryosuke yang dulu.

“If I could be born again, I hope you’d play with me then.” (Kagamine Len – Aku no Meshitsukai)

~ O W A R I~

Glosarium
[1] Posso aiutarla, Signorina: Ada yang bisa dibantu, Nona?
[2] No, grazie: Tidak, terima kasih
[3] Mitsuketa: Ketemu!
[4] Sachou: Ketua tapi lupa dalam konteks apa /ngikngok
[5] Oyassan: Panggilan untuk Bos
[6] Dou iu imi: Apa maksudnya
[7] Otanjoubi omedettou tte iitakatta: Aku ingin bilang selamat ulang tahun
[8] Buon Compleanno: Selamat ulang tahun
[9] Tokorode: omomg-omong

Your Reply