[fic] die dag, we delen een paraplu ; chapter 00


.

a/n: Judul artinya "That Day, We Shared an Umbrella" yakali salah, aku nanya mbah gugel soalnya. sayang sekali, bahasa belandaku itu mentok mentok ik hou van jou. *curhat* btw klik link di bawah ini untuk baca ceritanya. Sosoan LJ-cut nih XD

(Kau akan tahu jalan mana yang harus kau pilih ketika kau merasakan kehilangan--tapi bagaimana kalau kau merasakan kehilangan sesuatu yang berharga dari masing-masing jalan?)

.
.

Hujan.

Turun deras membasahi bumi, namun tidak sampai menyurutkan langkah seorang gadis belia berusia akhir delapan belas, untuk tetap melangkahkan kaki di atas jalan setapak jelek menuju sebuah perkebunan yang terletak di sebelah timur sebuah desa yang cukup terpencil di kaki bukit yang cukup dekat dengan rumah tempat tinggalnya di kota--

--oke, tidak cukup dekat, mungkin. Lumpur sudah mewarnai gaun merah mudanya dengan bercak-bercak kecokelatan yang sudah menutupi setengah dari warna permen kapas itu, dan berkali-kali ia terantuk batu--wajahnya yang kemerahan dan keringatnya yang berlelehan, tercampur dengan air hujan, menunjukkan bahwa ia sudah kelelahan. Beberapa tempat di gaunnya sobek karena tersangkut di ranting semak belukar yang menonjol tajam. Tapi ia tak boleh berhenti, ia harus terus berlari. Digenggamnya payung merah mudanya dengan semakin erat, dan dimantapkannya langkah meskipun itu akan menguras energinya lebih banyak. Ia tak peduli. Yang ia pedulikan adalah kenyataan bahwa ia harus sampai di tempat itu.

Ya, tempat itu.

Tempat di mana seseorang berdiri di bawah hujan, membutuhkannya.

Kembali gadis itu terantuk batu, dan hal itu cukup untuk membuatnya sadar di mana ia berada sekarang. Ia sudah sampai. Di sungai. Sungai jernih berarus deras yang kadang dikunjunginya ketika waktu luang--

--bersama orang itu.

Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat sosok pemuda sebaya dirinya, mungkin lebih tua beberapa bulan, berdiri dengan gontai di tepi sungai, terlihat lesu, dan bertangan satu. Manik biru sang gadis terpancang hanya pada sosok itu. Pemuda dengan surai hitam pendek yang basah terkena air hujan, tangan kirinya yang tinggal kenangan, kepala tertunduk ke bawah seolah menyembunyikan wajahnya yang tak terhias senyuman.

Sakit.

"Nata...."

Bibirnya kelu menyebut nama yang pertama kali muncul di benaknya--nama pemuda tanpa tangan kiri itu. Dikumpulkannya keberanian untuk maju, mendekati sang pemuda, untuk berbagi payung, menghindarkan pemuda itu dari terpaan hujan meskipun sebetulnya ia sudah tidak bisa basah lebih dari ini.

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak menemuiku lagi, Missen Hesselink?"

"Aku tahu," gadis itu menjawab dengan suara parau. "Dan aku takut aku akan menghukummu karena kau tidak memanggilku Monika, Nata."

Nata menampilkan senyum dingin--untuk pertama kalinya, Monika Julianne Hesselink melihat senyum itu menghiasi wajah seorang Nata Prawira.

Dingin.

Bukan seperti Nata yang biasanya.

"Apakah sudah terlambat bagimu untuk mulai mempercayaiku lagi, Nata?"

"Dan apakah Missen Hesselink sendiri masih mau percaya padaku?"

Hanya ada suara deras hujan selama beberapa detik yang menyiksa.

"Aku sudah cukup kehilangan semuanya, Missen..."

"Oh, sudahlah. Cukup. Aku tak mau dengar apa-apa lagi," gerutu Monika sambil berjalan semakin rapat, menyandarkan dahinya ke lengan kanan Nata yang--syukurlah--masih utuh, lalu perlahan terisak. Suara isakannya tidak ada apa-apanya dibanding suara hujan, namun tetap saja, Nata bisa mendengarnya.

Untuk sekarang ini lebih baik jika Nata berpura-pura tidak mendengarnya, atau segala hal yang telah dilakukannya akan berakhir sia-sia.

***
bersambung

Your Reply